Peran Diplomasi Pancasila Terhadap Konflik Thailand-Kamboja
Dewan Pakar Bidang Geopolitik dan Geostrategi BPIP RI.
Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
KONFLIK
perbatasan Thailand-Kamboja yang kembali meletup hari-hari ini, karuan saja gema sejarah yang menolak diam.
Ia mengingatkan bahwa masa lalu yang tidak diselesaikan secara adil tidak pernah benar-benar berlalu; ia hanya bersembunyi di lipatan waktu, menunggu saat untuk kembali menagih.
Bentrokan bersenjata yang pecah hari-hari ini, dan sebelumnya pada 24 Juli 2025, tidak dapat dibaca semata sebagai insiden militer kontemporer, melainkan sebagai kelanjutan dari sengketa panjang yang berakar pada Perjanjian Perancis–Siam tahun 1907.
Perjanjian kolonial itu, yang lahir dari meja kekuasaan asing, meninggalkan garis batas yang ambigu—garis yang sejak awal lebih mencerminkan kepentingan imperium daripada keadilan geopolitik kawasan.
Dalam perjalanan sejarahnya, sengketa ini menemukan simbol paling rapuh sekaligus paling sakral pada Candi Preah Vihear.
Putusan Mahkamah Internasional tahun 1962, yang menempatkan candi tersebut di bawah kedaulatan Kamboja, seharusnya menjadi penutup sebuah bab.
Namun hukum internasional, betapapun rasional dan formal, tidak selalu mampu menuntaskan persoalan batin bangsa.
Di titik inilah sengketa hukum bertransformasi menjadi nasionalisme teritorial. Perbatasan tidak lagi sekadar koordinat geografis, melainkan simbol harga diri yang dibebani emosi sejarah.
Bentrokan berulang, termasuk pada periode 2008–2011, memperlihatkan bagaimana rasionalitas hukum perlahan kalah oleh narasi kebangsaan.
Setiap eskalasi menjadi pernyataan identitas, setiap tembakan menjadi simbol bahwa kompromi dianggap sebagai kekalahan.
Dalam situasi seperti ini, konflik menjadi mudah tersulut dan semakin sulit diredam oleh mekanisme hukum semata.
Namun, justru di tengah kebuntuan inilah Diplomasi
Pancasila
menemukan relevansinya. Berangkat dari prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab, Diplomasi Pancasila tidak memulai rekonsiliasi dari peta dan garis batas, melainkan dari manusia dan martabatnya.
Ia menolak logika zero-sum yang melihat kemenangan satu pihak sebagai kekalahan pihak lain.
Sebaliknya, Diplomasi Pancasila menawarkan jalan dialog yang berangkat dari empati, musyawarah, dan kesadaran bahwa perdamaian kawasan adalah kepentingan bersama yang melampaui simbol-simbol nasionalisme sempit.
Sebagai jembatan rekonsiliasi, Diplomasi Pancasila mengajak kedua negara keluar dari bayang-bayang sejarah kolonial menuju etika peradaban Asia Tenggara yang lebih dewasa.
Rekonsiliasi tidak dimaknai sebagai melupakan sengketa, melainkan mengelolanya secara bermartabat melalui dialog, keadilan, dan kesediaan saling memahami.
Dengan pendekatan ini, konflik Thailand– Kamboja tidak harus berakhir dengan siapa menang dan siapa kalah, melainkan dengan kesadaran bersama bahwa perdamaian adalah bentuk tertinggi dari kemenangan.
Sementara itu, eskalasi konflik pada penghujung 2025, membawa Asia Tenggara pada wajah paling telanjangnya: wajah kemanusiaan yang terluka.
Angka resmi mencatat sedikitnya dua puluh nyawa melayang hanya dalam satu pekan, menjadikannya korban tertinggi sejak pertempuran singkat Thailand– Kamboja pada Juli tahun yang sama.
Namun kematian, sebagaimana sering terjadi dalam konflik bersenjata, hanyalah penanda paling kasat mata dari tragedi yang jauh lebih dalam.
Di balik statistik korban jiwa, terhampar kisah manusia yang tercerabut dari tanahnya sendiri, meninggalkan rumah bukan karena pilihan, melainkan karena ketakutan. Gelombang pengungsian massal menjadi bab paling pilu dari eskalasi ini.
Lebih dari enam ratus ribu warga sipil terpaksa meninggalkan ruang hidup mereka—lebih dari empat ratus ribu di sisi Thailand, dan sedikitnya seratus sembilan puluh dua ribu di Kamboja.
Mereka bukan sekadar angka dalam laporan kemanusiaan, melainkan wajah-wajah yang kehilangan rutinitas, mata pencaharian, dan rasa aman.
Di tenda-tenda pengungsian, waktu berjalan tanpa kepastian, sementara masa depan seolah menjadi sesuatu yang terlalu jauh untuk dipikirkan.
Di sinilah konflik memperlihatkan watak sejatinya: ia selalu menimpa mereka yang tidak pernah duduk di meja perundingan. Perbatasan yang diperdebatkan negara berubah menjadi batas penderitaan bagi rakyatnya.
Anak-anak berhenti sekolah, petani kehilangan ladang, dan keluarga terpisah oleh garis yang bahkan tidak mereka pahami asal-usulnya. Konflik yang bermula dari sengketa historis dan politik, akhirnya menjelma menjadi krisis moral yang mempertanyakan nurani kawasan.
Bagi ASEAN, eskalasi ini menandai titik kritis yang tidak bisa direspons dengan keheningan normatif.
Konflik bersenjata di jantung Asia Tenggara bukan hanya ancaman keamanan, tetapi juga guncangan terhadap stabilitas ekonomi kawasan, rantai pasok lintas negara, dan kepercayaan global terhadap ASEAN sebagai ruang damai dan kooperatif.
Lebih dari itu, konflik ini menguji kredibilitas ASEAN sebagai komunitas yang selama ini mengklaim penyelesaian damai sebagai prinsip utama. Ketika penderitaan manusia terus berlangsung, prinsip
non-interference
menjadi pertanyaan etis yang tak terelakkan.
Dalam konteks inilah, Diplomasi Pancasila menemukan urgensi historisnya. Prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab, menolak melihat pengungsi sebagai efek samping yang tak terhindarkan.
Diplomasi Pancasila memandang krisis ini bukan semata persoalan keamanan, tetapi tragedi kemanusiaan yang menuntut empati, dialog, dan tanggung jawab kolektif kawasan.
Diplomasi Pancasila menawarkan jalan rekonsiliasi yang tidak dimulai dari kepentingan negara semata, melainkan dari kesadaran bahwa martabat manusia adalah fondasi paling dasar dari perdamaian.
Jika Asia Tenggara ingin tetap menjadi kawasan beradab, maka krisis ini harus dijawab bukan hanya dengan pernyataan politik, tetapi dengan keberanian moral untuk memilih kemanusiaan sebagai kompas utama.
Dalam lanskap regional yang rapuh dan sarat ketegangan inilah peran Indonesia menemukan momentumnya. Ketika konflik Thailand–Kamboja kembali membara, Indonesia berdiri pada posisi yang tidak sekadar strategis, tetapi juga moral.
Sejumlah pakar menilai Presiden Prabowo Subianto memiliki legitimasi politik dan etis untuk mengambil peran sebagai mediator.
Pandangan ini tidak lahir dari optimisme kosong, melainkan dari tradisi panjang Indonesia dalam memilih jalan damai ketika kawasan berada di ambang perpecahan. Dalam perspektif ini, diplomasi bukan sekadar pilihan, melainkan kewajiban moral negara-negara beradab.
Maka posisi Indonesia dalam sengketa Thailand–Kamboja ini memiliki keunggulan yang jarang dimiliki aktor lain. Indonesia bukan pihak yang memiliki kepentingan langsung atas wilayah yang disengketakan, sehingga relatif diterima sebagai mediator yang netral.
Lebih dari itu, Indonesia membawa modal historis berupa rekam jejak panjang dalam memediasi konflik, dari Asia Tenggara hingga forum internasional.
Modal kepercayaan inilah yang menjadikan suara Indonesia kerap didengar, bahkan ketika suara itu tidak disertai tekanan kekuatan.
Usulan agar Presiden Prabowo melakukan audiensi dengan Raja Thailand dan Raja Kamboja, mencerminkan pemahaman mendalam terhadap karakter politik Asia Tenggara.
Di kawasan ini, diplomasi tidak hanya bekerja melalui jalur formal negara, tetapi juga melalui simbol tradisi dan legitimasi kultural.
Monarki, dalam konteks Thailand dan Kamboja, bukan sekadar institusi simbolik, melainkan sumber otoritas moral yang mampu melunakkan ketegangan politik.
Pendekatan semacam ini jarang tercatat dalam buku teks hubungan internasional, tetapi sering kali menentukan keberhasilan diplomasi di lapangan.
Maka peran Indonesia sebagai mediator bukanlah tentang tampil dominan, melainkan tentang menghadirkan ruang dialog yang bermartabat.
Inilah esensi Diplomasi Pancasila: memadukan rasionalitas hukum internasional dengan kepekaan kultural dan empati kemanusiaan.
Jika peran ini dijalankan secara konsisten, Indonesia tidak hanya membantu meredakan konflik Thailand –Kamboja, tetapi juga menegaskan dirinya sebagai jangkar moral Asia Tenggara – peran yang semakin langka dan semakin dibutuhkan di tengah dunia yang kian gaduh oleh kekerasan.
Bagi Indonesia, mediasi konflik Thailand–Kamboja tidak pernah dimaknai sebagai tugas diplomatik yang bersifat pragmatis semata.
Ia adalah pengejawantahan dari politik luar negeri bebas aktif yang sejak awal dirumuskan bukan hanya sebagai strategi, melainkan sebagai sikap moral bangsa.
Dalam terang nilai-nilai Pancasila, konflik tidak boleh dilihat semata sebagai pertarungan kepentingan negara, melainkan sebagai tragedi kemanusiaan.
Ketika ratusan ribu warga sipil menjadi pengungsi, kemanusiaan yang adil dan beradab berhenti menjadi jargon, dan menjelma sebagai panggilan etik yang menuntut kehadiran nyata.
Dalam perspektif Pancasila, penderitaan manusia tidak pernah dapat direduksi menjadi sekadar konsekuensi tak terelakkan dari konflik geopolitik.
Setiap nyawa yang tercerabut, setiap keluarga yang kehilangan rumah, adalah pengingat bahwa negara —dan kawasan— telah gagal menjaga martabat manusia.
Oleh karena itu, Diplomasi Pancasila tidak memulai langkahnya dari kalkulasi kekuatan, tetapi dari empati. Ia menempatkan manusia sebagai pusat pertimbangan, bukan sebagai efek samping dari perebutan wilayah dan pengaruh.
Diplomasi Pancasila menjadikan dialog, musyawarah, dan keadilan sebagai fondasi penyelesaian konflik. Indonesia tidak hadir sebagai kekuatan hegemonik yang memaksakan solusi dari atas, melainkan sebagai fasilitator yang membuka ruang komunikasi yang setara.
Pendekatan ini menolak logika menang-kalah, dan sebaliknya menawarkan jalan temu yang bermartabat. Di tengah dunia yang semakin transaksional, sikap ini menjadi pembeda yang sekaligus menjadi kekuatan diplomasi Indonesia.
Perbedaan ini semakin terasa jika dibandingkan dengan pola mediasi kekuatan besar yang kerap membawa agenda geopolitik terselubung. Indonesia, melalui Diplomasi Pancasila, berusaha menjaga jarak dari kepentingan sempit tersebut.
Kehadirannya bukan untuk menggeser keseimbangan kekuasaan, melainkan untuk memulihkan keseimbangan kemanusiaan. Dalam konteks inilah, kepercayaan menjadi modal utama, dan kepercayaan hanya lahir dari konsistensi nilai, bukan dari tekanan kekuatan.
Dalam kerangka ASEAN, peran Indonesia menemukan ruang institusionalnya. Inisiatif untuk mendorong KTT Luar Biasa ASEAN bukan sekadar prosedur diplomatik, melainkan pernyataan kepemimpinan moral kawasan.
Forum tersebut dapat menjadi ruang kolektif untuk menegaskan kembali komitmen ASEAN terhadap perdamaian dan stabilitas.
Kepemimpinan Indonesia di sini tidak boleh berhenti pada administratif dan seremonial, tetapi harus visioner, berani, dan berorientasi jangka panjang.
Dengan demikian, Diplomasi Pancasila tidak hanya meredam konflik, tetapi juga membentuk kembali wajah Asia Tenggara sebagai kawasan yang beradab, manusiawi, dan bermartabat.
Manakala Presiden Prabowo menjalani mediasi melalui Diplomasi Pancasila dalam konflik kawasan, dalam hal ini konflik Thailand–Kamboja, karuan saja menandai pilihan strategis Indonesia untuk menempatkan perdamaian sebagai kepentingan utama.
Mediasi ini tidak berdiri semata sebagai respons situasional, melainkan sebagai manifestasi konsistensi politik luar negeri Indonesia yang berakar pada nilai ideologis.
Di tengah dunia yang semakin ditandai oleh rivalitas dan politik kekuatan, pendekatan berbasis nilai menjadi pembeda yang memberi legitimasi moral pada peran Indonesia.
Maka relevansi Diplomasi Pancasila dalam upaya mediasi, terletak pada kemampuannya memadukan etika dan kepentingan regional.
Pancasila tidak memandang konflik sebagai arena menang-kalah, tetapi sebagai persoalan bersama yang harus diselesaikan melalui dialog dan musyawarah.
Prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab, serta persatuan, menjadi landasan untuk meredam eskalasi –sekaligus membuka ruang kepercayaan di antara pihak-pihak yang berkonflik.
Faktor kawasan menjadi elemen kunci yang memperkuat efektivitas mediasi ini. Indonesia hadir bukan sebagai aktor luar yang membawa agenda tersembunyi, melainkan sebagai bagian dari lingkungan strategis yang sama.
Mediasi dari sesama kawasan mengurangi kecurigaan politik, karena tidak dibayangi oleh kepentingan geopolitik global yang sering kali justru memperpanjang konflik.
Dalam konteks ini, Diplomasi Pancasila berfungsi sebagai bahasa bersama yang lebih mudah diterima oleh negara-negara tetangga.
Sebaliknya, keterlibatan pihak di luar kawasan kerap sarat dengan perhitungan kekuasaan, akses ekonomi, atau pengaruh militer.
Pengalaman berbagai konflik internasional menunjukkan bahwa mediasi eksternal sering kali menjadikan perdamaian sebagai alat tawar-menawar geopolitik.
Pendekatan Indonesia berupaya memutus pola tersebut, dengan menegaskan, bahwa stabilitas kawasan Asia Tenggara tidak boleh menjadi arena proksi kepentingan kekuatan besar.
Dengan demikian, Diplomasi Pancasila yang dijalankan Presiden Prabowo tidak hanya bertujuan meredakan konflik sesaat, tetapi juga menjaga arsitektur perdamaian kawasan dalam jangka panjang.
Indonesia menempatkan diri sebagai penyangga keseimbangan regional, yang bekerja melalui kepercayaan, nilai, dan solidaritas kawasan. Inilah perwujudan kepemimpinan yang tidak menggurui, tetapi merangkul —sebuah kepemimpinan yang relevan di tengah dunia yang kian terbelah.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Peran Diplomasi Pancasila Terhadap Konflik Thailand-Kamboja
/data/photo/2025/12/13/693d6f47e1751.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)