Peraturan Polri, Putusan MK, dan Batas Kewenangan

Peraturan Polri, Putusan MK, dan Batas Kewenangan

Peraturan Polri, Putusan MK, dan Batas Kewenangan
Penulis meraih gelar Doktor Hukum dari Universitas Andalas dan saat ini berkiprah sebagai Hakim dari Peradilan Tata Usaha Negara, serta aktif sebagai akademisi dan peneliti. Selain itu, penulis juga merupakan anggota Editorial Board Journal of Social Politics and Humanities (JSPH). Tulisan yang disampaikan adalah pendapat pribadi berdasarkan penelitian, dan tidak mewakili pandangan institusi.
Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.

No man is above the law, and every man, whatever his rank or condition, is subject to the ordinary law of the realm
.” — A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution
DALAM
tradisi negara hukum klasik, A.V. Dicey dengan tegas menyatakan bahwa “
no man is above the law, and every man, whatever his rank or condition, is subject to the ordinary law of the realm
.”
Prinsip ini menegaskan bahwa kekuasaan, betapapun kuatnya, tidak pernah memiliki legitimasi untuk menghindar dari hukum, apalagi menafsirkan ulang putusan lembaga peradilan demi kepentingannya sendiri.
Lon L. Fuller mengingatkan bahwa “
a system of law must be addressed to the understanding of those who are bound by it
.”
Hukum kehilangan makna moralnya ketika ia diproduksi atau diterapkan secara manipulatif, terlebih ketika putusan pengadilan yang seharusnya memberi kepastian justru dikelola ulang melalui kebijakan administratif.
Kemudian, Tom Ginsburg menegaskan bahwa “
courts matter because they can serve as a commitment device, binding political actors to constitutional rules
.”
Dalam kerangka ini, pengadilan tidak sekadar forum penyelesaian sengketa, melainkan mekanisme pengikat yang mencegah institusi negara mengubah arah hukum sesuai kepentingan kekuasaan sesaat.
Kajian-kajian tersebut menegaskan prinsip dasar negara hukum modern: supremasi konstitusi dan putusan pengadilan harus menjadi rujukan tertinggi bagi seluruh organ negara, termasuk institusi penegak hukum.
Dalam hal ini, demokrasi konstitusional hanya dapat bertahan jika seluruh institusi negara tunduk pada putusan pengadilan, tanpa membuka ruang bagi penafsiran ulang yang bersifat sepihak oleh pemegang kekuasaan.
Dalam konteks Indonesia, prinsip ini menjadi sangat relevan ketika kebijakan internal suatu lembaga negara justru memunculkan tafsir berjarak, bahkan berpotensi bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
Polemik seputar Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 tentang penugasan anggota Polri di luar struktur organisasi kepolisian menjadi contoh nyata bagaimana ketegangan antara kewenangan administratif dan ketaatan konstitusional kembali mengemuka.
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 telah memberikan garis batas yang tegas mengenai kedudukan anggota Polri dalam jabatan sipil.
Inti putusan tersebut adalah penegasan bahwa anggota Polri yang menduduki jabatan di luar institusi kepolisian wajib mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Frasa dalam Undang-Undang Polri yang sebelumnya membuka ruang penugasan tanpa pengunduran diri dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena menciptakan ketidakpastian hukum.
Putusan ini bukan sekadar koreksi normatif, melainkan penegasan prinsip konstitusional tentang pemisahan peran antara aparat keamanan dan jabatan sipil.
Dalam negara demokratis, keberadaan aparat bersenjata di ruang-ruang sipil harus dibatasi secara ketat untuk mencegah tumpang tindih kewenangan dan konflik kepentingan.
Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi seharusnya dipahami sebagai perintah konstitusional yang bersifat final dan mengikat, bukan sebagai opsi kebijakan yang dapat ditafsirkan ulang melalui peraturan internal lembaga.
Dalam kerangka ini, pernyataan para pakar hukum yang menegaskan bahwa Perpol tidak dapat menggugurkan atau mengubah makna putusan Mahkamah Konstitusi menjadi sangat relevan.
Hierarki norma hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia secara jelas menempatkan putusan Mahkamah Konstitusi di atas peraturan lembaga, termasuk peraturan kepolisian.
Ketika garis batas konstitusional telah ditarik secara tegas oleh Mahkamah, maka ruang diskresi institusional menjadi sangat terbatas.
Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 mengatur penugasan anggota Polri di luar struktur organisasi kepolisian, termasuk penempatan pada 17 kementerian dan lembaga negara.
Secara formal, peraturan ini menyatakan bahwa penugasan tersebut dilakukan dengan melepaskan jabatan internal kepolisian.
Namun, persoalan utamanya bukan semata pada pelepasan jabatan struktural, melainkan pada status keanggotaan Polri itu sendiri: apakah yang bersangkutan masih berstatus anggota aktif atau telah sepenuhnya beralih menjadi warga sipil.
Di sinilah letak problem mendasarnya. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak berhenti pada soal jabatan internal, melainkan menekankan keharusan pengunduran diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Artinya, status sebagai anggota Polri aktif tidak lagi dapat dipertahankan ketika seseorang menduduki jabatan sipil.
Ketika Perpol membuka ruang bagi penugasan luas di berbagai kementerian dan lembaga, termasuk yang bersifat administratif dan regulatif, muncul kesan bahwa Polri sedang membangun tafsir administratif sendiri terhadap batasan konstitusional yang telah ditetapkan.
Kebijakan semacam ini berisiko menimbulkan ketegangan normatif. Di satu sisi, Polri tentu memiliki kepentingan institusional untuk mendukung berbagai fungsi negara melalui penugasan personelnya.
Namun di sisi lain, kepentingan tersebut tidak boleh mengorbankan prinsip kepastian hukum dan ketaatan pada putusan pengadilan.
Ketika peraturan internal terkesan “mengakali” makna putusan Mahkamah Konstitusi, yang dipertaruhkan bukan hanya soal legalitas administratif, tetapi juga wibawa konstitusi itu sendiri.
Selain itu, penempatan anggota Polri aktif di berbagai lembaga sipil juga berpotensi menimbulkan persoalan meritokrasi dan keadilan karier bagi aparatur sipil negara.
Mahkamah Konstitusi secara eksplisit telah menyinggung potensi kerancuan dan ketidakadilan dalam pengisian jabatan sipil apabila ruang tersebut dibuka bagi aparat keamanan yang masih aktif.
Oleh karena itu, Perpol 10/2025 seharusnya diuji secara kritis, bukan hanya dari sudut kepentingan fungsional Polri, tetapi juga dari dampaknya terhadap sistem kepegawaian sipil secara keseluruhan.
Kritik terhadap Perpol 10/2025 tidak boleh dipahami sebagai serangan terhadap institusi Polri. Sebaliknya, kritik ini justru penting untuk menjaga profesionalisme Polri sebagai institusi penegak hukum yang seharusnya menjadi teladan dalam kepatuhan terhadap konstitusi.
Dalam negara hukum, kepatuhan terhadap putusan pengadilan bukan sekadar kewajiban formal, melainkan fondasi legitimasi kekuasaan itu sendiri.
Polri memiliki posisi strategis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Oleh karena itu, setiap kebijakan internalnya akan selalu berada dalam sorotan publik.
Ketika kebijakan tersebut menimbulkan kesan bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, kepercayaan publik berpotensi terkikis. Padahal, kepercayaan publik adalah modal utama bagi efektivitas penegakan hukum.
Langkah yang lebih bijak adalah melakukan penyesuaian kebijakan secara terbuka dan konstitusional.
Jika Polri menilai bahwa penugasan tertentu memang diperlukan untuk kepentingan negara, maka jalur yang ditempuh seharusnya adalah perubahan undang-undang melalui mekanisme legislasi, bukan melalui peraturan internal yang berpotensi menabrak putusan pengadilan.
Dengan demikian, kepentingan fungsional negara dapat tetap dijaga tanpa mengorbankan prinsip supremasi konstitusi.
Pada akhirnya, polemik Perpol 10/2025 menjadi ujian penting bagi eksistensi Indonesia sebagai negara hukum.
Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh direduksi menjadi sekadar rujukan normatif yang bisa ditafsirkan ulang sesuai kebutuhan institusional.
Ketaatan penuh terhadap putusan tersebut justru akan memperkuat posisi Polri sebagai institusi profesional, modern, dan sepenuhnya tunduk pada hukum.
Dalam konteks inilah kritik yang konstruktif perlu terus disuarakan, bukan untuk melemahkan Polri, melainkan untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil tetap berada dalam koridor konstitusi dan demokrasi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.