Kudus, Beritasatu.com – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Golkar, Jamaludin Malik, angkat bicara terkait polemik Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 tentang anggota Polri yang melaksanakan tugas di luar struktur organisasi Polri terus menuai polemik.
Ia menegaskan aturan tersebut tidak bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), melainkan justru menjadi instrumen pengaman agar anggota Polri tetap berada dalam koridor hukum.
Jamaludin menilai kegaduhan yang berkembang di ruang publik lebih disebabkan oleh kesalahpahaman dalam memposisikan perpol dalam sistem hukum nasional. Menurutnya, perpol tidak bisa disamakan dengan undang-undang ataupun norma hukum yang berdiri sendiri.
“Perpol adalah instrumen teknis internal untuk menjalankan kewenangan yang sudah diberikan undang-undang kepada Polri. Jadi keliru jika langsung dinilai menabrak putusan MK,” ujar Jamaludin, Sabtu (13/12/2025).
Legislator dari daerah pemilihan Jawa Tengah II (Demak, Kudus, dan Jepara) itu menjelaskan, putusan MK berada pada tataran prinsip konstitusional, seperti due process of law dan perlindungan hak warga negara. Sementara itu, Perpol 10/2025 berfungsi sebagai petunjuk teknis pelaksanaan kewenangan di lapangan.
Jamaludin juga menegaskan setiap produk hukum memiliki asas presumptio iustae causa, yakni dianggap sah dan mengikat sejak diundangkan hingga ada putusan pengadilan yang membatalkannya. Oleh karena itu, keabsahan perpol tidak bisa digugurkan hanya melalui perdebatan opini publik.
“Keabsahan aturan tidak gugur karena opini, tetapi harus diuji melalui mekanisme hukum yang sah,” tegasnya.
Secara formil maupun materiel, Jamaludin menilai Perpol 10/2025 telah memenuhi ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, mulai dari kejelasan tujuan hingga kepastian hukum.
Ia juga membantah anggapan perpol tersebut memperluas kewenangan Polri. Menurutnya, aturan ini justru berfungsi sebagai pembatas agar anggota Polri tidak bertindak di luar kewenangan. “Kalau dibaca secara utuh, perpol ini justru menjadi pagar. Anggota Polri dipagari supaya tetap sejalan dengan semangat putusan MK,” jelas Jamaludin.
Jamaludin menegaskan tidak ada konflik norma antara Perpol 10/2025 dan amar putusan MK. Perbedaan tafsir yang muncul, kata dia, hanya berkaitan dengan aspek teknis administratif, bukan substansi hak konstitusional.
“Sering kali orang mencampuradukkan antara pengaturan tata cara dengan pembatasan hak. Padahal MK sendiri membedakan dua hal itu secara tegas,” pungkasnya.
