Respon Tantangan AI, Perhumas Rilis Kode Etik Baru dan Indikator Terukur di KHI 2025

Respon Tantangan AI, Perhumas Rilis Kode Etik Baru dan Indikator Terukur di KHI 2025

Surabaya (beritajatim.com) – Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia (Perhumas) resmi meluncurkan pemutakhiran Kode Etik Kehumasan yang mengakomodasi penggunaan Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence/AI) serta memperkenalkan Perhumas Indicators 2025 dalam pembukaan Konvensi Humas Indonesia (KHI) 2025 di Hotel Bumi Surabaya, Sabtu (13/12/2025). Langkah strategis ini diambil untuk menjawab tantangan disrupsi teknologi sekaligus memastikan kinerja humas dapat diukur secara presisi berbasis data.

Ketua Umum DPP Perhumas, Boy Kelana Soebroto, menegaskan bahwa pembaruan standar profesi ini mendesak dilakukan. Menurutnya, humas kini berhadapan langsung dengan otomatisasi ruang informasi yang menuntut standar etika baru.

“Tantangan hari ini bukan hanya tentang penyampaian pesan, tetapi juga sudah meluas masuk ke dalam destruksi teknologi. Termasuk artificial intelligence, automatisasi ruang informasi, kompetisi reputasi bangsa, di mata global,” ujar Boy di hadapan ratusan praktisi humas.

Dalam peluncuran tersebut, Boy menjelaskan bahwa kode etik terbaru ini dirancang untuk menjadi panduan moral praktisi saat menggunakan teknologi canggih. Pemanfaatan AI dalam produksi konten komunikasi tidak boleh mengaburkan fakta atau melanggar privasi.

“Hari ini kita bersama-sama akan melakukan peluncuran pemutakhiran kode etik Perhumas yang merupakan wujud tekad kita bersama dalam menjaga integritas profesi di tengah kompleks dan perkembangan zaman. Di dalam kode etik ini tertanam prinsip kebenaran, transparansi, akurasi, tanggung jawab, dan keberpihakan pada kepentingan publik. Dan tentu saja sudah memasukkan unsur-unsur terkait teknologi terkini yaitu artificial intelligence,” paparnya.

Langkah Perhumas ini mendapat dukungan penuh dari Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Dirjen Komunikasi Publik dan Media Komdigi, Fifi Aleyda Yahya, yang turut hadir, mengingatkan bahwa regulasi dan etika adalah pagar pengaman agar teknologi tetap memanusiakan manusia.

“Kami juga membuat regulasi dan etika teknologi termasuk pedoman etika kecerdasan artifisial. Tujuannya agar inovasi tetap manusiawi dan bertanggung jawab insyaallah,” kata Fifi.

Fifi menambahkan, meski teknologi seperti AI mempercepat proses kerja, peran manusia dalam menimbang rasa tidak tergantikan. “AI bisa membantu menyaring data tapi hanya kita yang bisa memberikan rasa atau empati,” tegasnya.

Selain aspek etika, sorotan utama dalam KHI 2025 adalah peluncuran Perhumas Indicators 2025. Bekerja sama dengan lembaga riset Populix, instrumen ini dihadirkan untuk mengubah cara praktisi humas dalam menilai keberhasilan komunikasi. Humas tidak lagi sekadar bekerja berdasarkan intuisi, melainkan data konkret yang dapat dipertanggungjawabkan.

Boy Kelana Soebroto memaparkan bahwa indikator ini berfungsi ganda: mengukur tingkat kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah maupun swasta, serta menilai kualitas narasi yang beredar di masyarakat.

“Perhumas Indicators hadir untuk mengukur tingkat kepercayaan terhadap institusi, pemerintah, swasta, dan juga membaca kualitas narasi publik serta menilai efektivitas strategi komunikasi yang dilakukan oleh sebuah institusi,” jelas Boy.

Pentingnya pengukuran ini didasari oleh pemahaman bahwa reputasi adalah modal vital bagi keberlangsungan organisasi maupun negara.

“Kita semua memahami dengan sangat jelas bahwa kepercayaan dan reputasi bukan hanya sekedar persepsi, tetapi juga merupakan aset strategi yang dapat berdampak pada stabilitas pertumbuhan bangsa,” tambah Boy.

Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menyambut baik inisiatif berbasis data dan etika ini. Sebagai tuan rumah, Khofifah menekankan bahwa inovasi dan pengukuran kinerja adalah hal yang juga diterapkan di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

“Awal tahun biasanya saya berhari-hari untuk mendeteksi, mengetahui dan mengukur inovasi-inovasi yang mereka sudah lakukan,” ungkap Khofifah.

Ia juga menekankan bahwa narasi positif atau “Bicara Baik” yang dikampanyekan Perhumas harus berjalan beriringan dengan kemampuan adaptasi teknologi. Khofifah menutup pandangannya dengan optimisme bahwa kolaborasi antara data, etika, dan inovasi akan membawa Indonesia lebih kompetitif.

“Maka memang bicara baik menjadi penting. Kalau perhumas selalu menyampaikan bicara baik, bicara baik, bicara baik. Maka nanti yang di langit itu akan memberikan kekuatan kita,” pungkas Khofifah. [beq]