Indonesia di Ambang “Genesis Mission” AS, Kita Perlu Berbuat Sekarang
Mengabdi lebih dari empat dekade pengalaman di bidang pertahanan, keamanan, dan penanggulangan bencana, antara lain sebagai Penasihat Militer Indonesia pada Perwakilan Tetap RI di PBB New York hingga 2007, Komandan Pangkalan Utama TNI AL VIII Manado hingga 2010, Deputi I Menko Kesra yang membidangi lingkungan hidup dan kerawanan sosial hingga 2015, serta menjabat Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana hingga 2019, dan aktif dalam berbagai forum kebencanaan tingkat ASEAN dan global.
ADA
rencana besar sedang berjalan di Washington. Namanya Genesis Mission, yakni strategi ambisius Amerika Serikat untuk menguasai kecerdasan buatan (AI), komputer supercanggih, dan data-data nasional sebagai senjata ekonomi dan militer di abad ke-21.
Inisiatif ini bukan sekadar program teknologi biasa melainkan tentang siapa yang akan menguasai dunia di era digital.
Bayangkan,
AI
bukan lagi fitur di ponsel Anda. Pikirkan AI sebagai mesin penggerak utama dalam industri manufaktur, sistem pertahanan negara, dan cara kita hidup sehari-hari. Itu yang AS targetkan.
Mereka mau menguasai
chip
semikonduktor, energi baru, bioteknologi, komputer kuantum, dan industri manufaktur canggih. Mereka mau menarik para ilmuwan dan engineer terbaik dari seluruh dunia ke ekosistem riset mereka. Juga mau menulis aturan main global tentang bagaimana AI boleh digunakan, diatur, dan dievaluasi dari segi etika.
Pertanyaannya untuk Indonesia sederhana, tetapi menggugah: Kita mau jadi pemain utama, atau sekadar pasar pembeli?
Jika Indonesia hanya menjadi penonton, maka kesenjangan teknologi dengan negara maju bisa melebar dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bukan dalam puluhan tahun, tapi mungkin hanya beberapa tahun saja.
Pertama
, menjadi pasar konsumen teknologi AI impor. Perusahaan teknologi global datang membawa solusi AI siap pakai, mulai platform kesehatan, sistem pabrik pintar, sistem perbankan, hingga sistem logistik berbasis AI.
Indonesia membeli dan menggunakan produk-produk itu, tapi tidak menguasai cara kerjanya. Kita tidak mengontrol data pelanggan kita sendiri dan nilai uang terbesar didapat oleh pihak asing, bukan oleh perusahaan dan negara kita.
Kedua
, menjadi sumber data dan bahan baku digital. Data tentang konsumen Indonesia, data transaksi, data pendidikan, dan data kesehatan mengalir ke server perusahaan asing. Mereka menggunakan data itu untuk membuat produk dan layanan yang lebih baik, lalu menjualnya kembali kepada kita dengan harga premium. Ini seperti “koloni digital generasi baru”.
Indonesia sebagai negara kaya dengan sumber daya besar, tapi bergantung sepenuhnya pada teknologi asing.
Akan tetapi, cerita ini tidak harus berakhir buruk. Indonesia sebenarnya punya tiga leverage strategis sangat besar yang sering diabaikan.
Pertama
, data dan pasar raksasa. Dengan jumlah penduduk lebih dari 280 juta, ekonomi yang terus berkembang, dan ekosistem digital yang dinamis, Indonesia adalah “laboratorium hidup” untuk mengembangkan teknologi AI yang unik.
Pertanian tropis, logistik kepulauan, sistem keuangan syariah butuh solusi AI khusus yang tidak bisa dibuat hanya dengan meniru negara lain.
Kedua
, generasi muda yang cerdas. Banyak anak muda Indonesia sudah bekerja sebagai
research scientist, engineer
, dan
founder startup
teknologi di berbagai belahan dunia.
Tantangannya, mencegah mereka hanya menjadi ekspor talenta. Bagaimana membuat mereka ingin pulang atau berkontribusi di Indonesia? Kalau mereka tersedot ke Amerika Serikat, Singapura, atau Eropa saja, Indonesia bakal kehilangan talenta terbaik.
Ketiga
, posisi geostrategis dan ekonomi. Indonesia berada di jalur perdagangan global, jalur energi, dan jalur data internasional. Kabel laut yang menghubungkan dunia, pusat data, jaringan satelit ini penting di era AI. Indonesia punya kartu tawar penting jika tahu cara memanfaatkannya.
Dengan aset-aset ini, Indonesia sebenarnya bisa menjadi mitra strategis yang dihormati di dunia AI global, bukan sekadar pembeli atau pemasok bahan mentah.
Dampak Genesis Mission akan terasa paling keras di dunia industri dan pabrik.
Pabrik di Eropa dan Asia Timur sudah menggunakan AI untuk desain produk, memprediksi kapan mesin akan rusak, menghemat energi, dan mengoptimalkan pengiriman barang.
Mereka bisa memproduksi dengan biaya lebih rendah, kualitas lebih bagus, dan inovasi lebih cepat.
Kalau industri Indonesia tidak ikut menggunakan AI, maka akan terjadi tiga hal buruk: (1) biaya produksi lebih tinggi, (2) inovasi tertinggal jauh, (3) akhirnya hanya menjadi kontraktor murah yang mengerjakan pekerjaan bermargin tipis sehingga tidak mampu menjadi pemimpin industri.
Akan tetapi ada cara lain. Indonesia bisa memilih tiga sampai lima sektor prioritas untuk jadi ”
pilot project
” adopsi AI:
Untuk berhasil, Indonesia butuh “Peta Jalan AI Industri Indonesia” yang jelas, bagaimana AI akan meningkatkan produktivitas, hemat energi, dan kurangi emisi karbon.
Ini tidak bisa dikerjakan pemerintah sendiri. Butuh kemitraan besar mulai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), swasta, universitas, dan bahkan militer. Perusahaan strategis di aviasi, logistik, dan energi harus jadi pusat eksperimen dan akselerasi, bukan sekadar menjalankan operasi rutin.
Ada kekhawatiran nyata tentang risiko hilangnya pekerjaan. Pekerjaan yang paling terancam saat ini adalah yang ebrkaitan dengan administrasi, input data,
customer service
, dan operasional rutin. AI bisa mengerjakan ini lebih cepat dan lebih murah.
Pekerja dengan skill rendah yang tidak belajar AI bisa menjadi pengangguran dalam jangka panjang.
Di sisi lain, para ahli Indonesia di bidang AI bisa ditarik keluar negeri dengan gaji fantastis dan fasilitas riset bagus.
Pekerja yang belajar memanfaatkan AI bisa produktif berkali-kali lipat. Seseorang yang dulunya cuma bisa proses beberapa laporan sehari, dengan bantuan AI bisa meng-handle lebih dari 20 laporan.
Solusinya, Indonesia harus punya program pelatihan nasional yang serius, bukan sekadar simbolis. Ada tiga tingkat:
Program Kartu Prakerja bisa dikembangkan fokus pada skill AI. Sekolah kejuruan dan politeknik perlu dibenahi agar langsung selaras dengan kebutuhan industri.
Sekolah-sekolah di negara maju sudah pakai AI tutor pribadi, pembelajaran yang menyesuaikan kemampuan siswa, dan simulasi lab virtual. Siswa di Eropa bisa belajar fisika lewat simulasi, dapat soal yang disesuaikan dengan kemampuan, dan dapat umpan balik instan dari AI.
Bila Indonesia tetap memakai metode mengajar puluhan tahun lalu, kesenjangan akan semakin dalam. Lebih serius lagi, kalau semua platform AI pendidikan dari luar negeri, maka nilai Pancasila, sejarah, budaya, agama lokal bisa terpinggirkan. Data puluhan juta siswa Indonesia ada di server asing.
Solusinya, Indonesia harus membuat Platform Pendidikan AI Nasional sendiri, dengan konten lokal (Bahasa Indonesia, Pancasila, sejarah, agama, sains sesuai kebutuhan lokal / local wisdom).
Dengan begitu, guru tidak digantikan, malah di-upgrade jadi “pengajar berbasis AI” yang fokus pada nilai, makna, dan pengembangan karakter, sementara tugas mengajar rutin dibantu AI.
Di dunia bisnis, AI sudah jadi mesin di balik rekomendasi produk e-commerce, penilaian risiko fintech, optimasi rute logistik.
Usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang tidak pakai AI akan kalah dalam jangka panjang karena kurang terlihat dan kurang ekspos, iklan kurang efisien, serta pelayanan pelanggan kurang cepat.
Jangan lupa, ada peluang besar juga dari
chatbot customer
service, otomasi pembukuan, tool design dan promosi yang
AI-powered
,
startup
lokal di agritech, healthtech dan, fintech syariah.
Pemerintah harus buat regulasi yang melindungi data konsumen tapi tidak menghambat inovasi. Perlu tempat uji coba regulasi untuk
startup AI
, dan dorong pembangunan data center lokal dengan keamanan tinggi.
Genesis Mission bukan hanya soal ekonomi, tapi juga keamanan militer. AI akan mengubah cara perang, drone swarm, sistem pertahanan udara otomatis, cyber attack yang dijalankan AI, termasuk intelijen berbasis big data.
Negara yang infrastruktur listrik, komunikasi, transportasinya tidak terlindungi bisa dilumpuhkan tanpa perang fisik.
Indonesia harus membangun kemampuan pertahanan AI sendiri, mulai cyber defense, pengawasan maritim dengan AI, hingga analisis ancaman.
Hal ini memerlukan kolaborasi Tentara Nasional Indonesia (TNI), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), juga pihak universitas dan industry untukmengadaptasi Genesis Mission yang fokus untuk Indonesia.
Untuk jangka panjang, Indonesia butuh visi besar: “Indonesia AI Mission” dengan lima pilar: (1) Kedaulatan data nasional, (2) Penguasaan teknologi kritikal di beberapa titik kunci, (3) Jutaan pekerja yang melek AI, (4) AI untuk kesejahteraan rakyat (pangan, kesehatan, dan pendidikan), (5) Sishankam yang canggih berbasis AI.
Perusahaan besar, terutama BUMN di aviasi, logistik, dan energi, harus punya rencana AI 5–10 tahun, pahami risiko AI, mulai dari
cyber
, data, dan model, hingga tata kelola yang jelas.
Genesis Mission menunjukkan
kecerdasan buatan
dan data bukan lagi pilihan, tapi keharusan untuk tetap relevan di dunia global dan telah menjadi dasar kekuatan Nasional.
Indonesia memiliki peluang emas. Kita punya pasar besar, talenta yang terus berkembang, letak geografis strategis. Jika kita cerdas, fokus, dan berani bertindak, kita bisa jadi pemain penting di dunia AI, bukan sekadar pembeli atau konsumen.
Pertanyaannya bukan lagi apakah AI akan mengubah Indonesia? Namun, “Apakah kita ingin menentukan sendiri bentuk perubahan itu? atau kita sekedar sebagai
follower
dari Keputusan dari negara lain?
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Indonesia di Ambang “Genesis Mission” AS, Kita Perlu Berbuat Sekarang
/data/photo/2025/12/12/693c1425b46d9.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)