Jakarta, Beritasatu.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap modus korupsi Bupati Lampung Tengah, Ardito Wijaya, dalam kasus suap dan gratifikasi proyek pengadaan barang dan jasa (PBJ). Ardito disebut sengaja mengatur agar pemenang proyek adalah perusahaan milik keluarga atau tim suksesnya saat Pilkada 2024.
Pelaksana Harian (Plh) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Mungki Hadipratikto, menjelaskan setelah resmi menjabat Bupati Lampung Tengah, Ardito memerintahkan anggota DPRD Lampung Tengah, Riki Hendra Saputra, untuk mengatur pemenang berbagai proyek di sejumlah SKPD. Pengaturan dilakukan melalui mekanisme penunjukan langsung di e-Katalog.
“Penyedia barang dan jasa yang harus dimenangkan merupakan perusahaan milik keluarga atau tim pemenangan AW saat mencalonkan diri sebagai bupati Lampung Tengah periode 2025-2030,” ujarnya dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Jakarta Selatan, Kamis (11/12/2025).
Ardito juga menetapkan fee 15-20% dari setiap proyek yang digarap di lingkungan Pemkab Lampung Tengah. Selama periode Februari hingga November 2025, ia menerima suap sebesar Rp 5,25 miliar dari berbagai rekanan. Uang tersebut dikirim melalui adik kandungnya, Ranu Prasetyo.
Tidak hanya itu, Ardito juga menerima fee Rp 500 juta dari proyek pengadaan alat kesehatan (alkes) di Dinas Kesehatan Lampung Tengah. Dengan demikian, total uang suap dan gratifikasi yang diterimanya mencapai Rp 5,75 miliar.
“Total aliran dana yang diterima AW sekitar Rp 5,75 miliar. Dana itu diduga digunakan untuk operasional bupati senilai Rp 500 juta dan melunasi pinjaman bank terkait kebutuhan kampanye 2024 sebesar Rp 5,25 miliar,” jelas Mungki.
KPK menetapkan Ardito Wijaya bersama empat orang lainnya sebagai tersangka. Mereka adalah adik Ardito, Ranu Hari Prasetyo, anggota DPRD Lampung Tengah Riki Hendra Saputra, Plt Kepala Bapenda Lampung Tengah sekaligus kerabat bupati, Anton Wibowo, Direktur PT Elkaka Mandiri Mohamad Lukman Sjamsuri.
Untuk tahap awal, para tersangka ditahan selama 20 hari hingga 29 Desember 2025. Ardito, Ranu, dan Anton ditahan di Rutan KPK Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi, sedangkan Riki dan Lukman ditempatkan di Rutan KPK Cabang Gedung Merah Putih.
Ardito, Anton, Riki, dan Ranu disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 11, atau Pasal 12B Undang-Undang Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sementara itu, Lukman dijerat Pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b, atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kasus ini menegaskan kembali komitmen KPK dalam memberantas praktik korupsi yang melibatkan pejabat daerah serta mengungkap penyalahgunaan kekuasaan dalam pengelolaan proyek pemerintah.
