Bisnis.com, JAKARTA – Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke luar negeri di tengah masa tanggap darurat bencana menuai sorotan.
Keputusan Prabowo meninggalkan Tanah Air saat bencana memunculkan perdebatan publik soal sensitivitas, komunikasi politik, hingga efektivitas kepemimpinan dalam kondisi krisis.
Founder Lembaga Survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia atau KedaiKOPI Hendri Satrio memilih membaca langkah Prabowo secara positif.
Dia menilai perjalanan ke luar negeri bisa saja berkaitan dengan upaya mencari dukungan internasional untuk rekonstruksi dan rehabilitasi pascabencana.
“Ya kita positif thinking aja, bisa jadi kunjungan-kunjungan ke luar negeri pak Prabowo justru untuk mencari dukungan terhadap program rekonstruksi dan rehabilitasi terhadap bencana kita,” ujarnya saat dihubungi Bisnis, Rabu (10/12/2025).
Kendati demikian, Hendri menilai penting bagi Presiden untuk menunjukkan komitmen nyata setelah kembali ke Tanah Air.
“Kami usul setelah kembali dari lawatan luar negeri maka daerah yang pertama kali dikunjungi harus Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat,” ucapnya.
Senada, Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Indonesia, Arifki Chaniago menilai Presiden Prabowo sebenarnya telah menunjukkan kepedulian dengan turun langsung ke lokasi bencana sebelum berangkat.
Namun Arifki mengkritik tim komunikasi kepresidenan yang dinilai gagal menjelaskan urgensi perjalanan luar negeri kepada publik. Menurutnya, ketiadaan penjelasan komprehensif membuat opini liar berkembang, apalagi Prabowo kalah suara di beberapa wilayah terdampak.
“Tim komunikasi beberapa kali kalah narasi sehingga kalah dengan narasi oposisi atau publik yang tidak puas, katanya.
Dia menilai tanpa juru bicara yang menjelaskan konteks secara rasional, persepsi negatif tak terhindarkan. Meski begitu, Arifki menilai dari sisi jangka panjang, kerja sama luar negeri bisa berdampak positif bagi Indonesia, terutama dalam investasi dan posisi geopolitik.
Berbeda pandangan, Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar justru melihat langkah Presiden berkunjung ke luar negeri di tengah fase darurat bencana sebagai bentuk kurangnya empati dan tidak tepat waktu.
Askar menilai Prabowo seharusnya memprioritaskan pemenuhan kebutuhan darurat seperti obat-obatan, air bersih, jembatan sementara, alat berat, dan helikopter untuk menjangkau wilayah yang hingga kini masih terisolasi.
Dia juga menyoroti lemahnya kualitas laporan yang diterima presiden dari para pembantu pemerintah daerah maupun pusat. Oleh sebab itu, dia mempertanyakan urgensi kepergian Prabowo, mengingat kerja sama dengan negara-negara seperti Pakistan maupun Rusia dapat ditunda atau diwakili oleh menteri.
“Bencana ini butuh leadership. Komando terpusat itu yang tidak ada sekarang,” kata Media.
Askar menyatakan bahwa kerja sama bilateral dapat dilakukan pada waktu lain dan tidak harus dihadiri langsung oleh Presiden.
“Pakistan itu kan masih ada bulan depan, tahun depan. Bisa ditunda. Bisa diwakili diplomat atau menteri. Bencana ini beda. Ini bicara soal nyawa,” ucapnya.
Menurutnya, saat ini di Aceh sedang terjadi fenomena “korban bantu korban”, karena bantuan negara belum menjangkau banyak wilayah.
Oleh karena itu, Askar menilai penanganan bencana membutuhkan kehadiran dan instruksi langsung Kepala Negara untuk memastikan koordinasi berjalan efektif sesuatu yang menurutnya tidak terlihat sejauh ini.
Dia juga membandingkan dengan pengalaman tsunami Aceh 2004 yang menurutnya diakui dunia sebagai contoh penanganan bencana yang kuat karena adanya komando jelas dari pemerintah pusat.
Menurutnya, tanpa sinyal kuat dari Presiden, jajaran di bawah tidak merespons dengan cepat. Hal ini terlihat dari lambatnya mobilisasi Hercules, helikopter, jembatan sementara, hingga distribusi logistik yang masih terhambat di banyak titik.
Askar juga menilai kunjungan Presiden ke lokasi bencana sebelumnya tidak menggambarkan kondisi sesungguhnya karena hanya mendatangi titik-titik yang aksesnya relatif terbuka. Hal itu, menurutnya, membuat publik tidak melihat empati yang kuat dari Presiden dalam menghadapi bencana besar ini.
“Padahal yang dia kunjungi itu daerah-daerah yang relatif bisa diakses, yang ada poskonya. Coba datang ke Meriah, di ana nggak ada posko, logistik nggak masuk, motor pun nggak bisa masuk ke sana,” ujar Askar.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago menilai masalah lebih besar terletak pada respons yang menurutnya terlambat dan dipenuhi miskomunikasi antarpejabat. Dia menegaskan bahwa sejak awal pemerintah terlihat meremehkan skala bencana.
Menurut Pangi, banyak pernyataan pejabat yang meremehkan situasi serta keterlambatan distribusi bantuan, termasuk kurangnya helikopter dan alat berat pada hari-hari awal bencana.
Dia menilai Presiden Prabowo terjebak dalam informasi yang tidak objektif karena inner circle yang “mengalienasi” presiden dari situasi lapangan yang sebenarnya.
“Kalau sejak awal negara cepat dan tidak menyepelekan, tidak ada masalah kunjungan luar negeri itu,” ujarnya.
Menurutnya, rangkaian kritik dan pembelaan dari para pengamat menunjukkan bahwa kepergian Presiden Prabowo ke luar negeri pada masa krisis telah membuka ruang debat yang luas.
Sebagian melihatnya sebagai strategi diplomasi yang memiliki nilai jangka panjang, namun sebagian lainnya menilai langkah itu tak sejalan dengan kebutuhan kepemimpinan kuat pada masa krisis.
Respons pemerintah ke depan, baik melalui langkah konkret di lapangan maupun komunikasi publik yang lebih jelas, dipandang akan menjadi faktor penentu arah persepsi publik terhadap kepemimpinan Presiden Prabowo dalam penanganan bencana besar di Sumatra.
Namun dengan kondisi saat ini, dia menilai citra dan kepemimpinan Presiden Prabowo ikut terpengaruh.
“Presiden dianggap tidak sensitif, tidak responsif, dan gagal membaca situasi sebenarnya ketika bencana itu terjadi,” tandas Pangi.
