JAKARTA – Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin memperingatkan bahwa tahun 2026 berpotensi menjadi periode penuh tekanan bagi perekonomian Indonesia.
Dia menilai target pemerintah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 6,3 persen sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sulit diwujudkan karena kondisi lapangan menunjukkan tantangan yang jauh lebih berat.
“Terlepas dari target RPJMN bahwa ekonomi akan tumbuh 6,3 persen tahun 2026, realitas lapangan sangat berbeda. Fenomena ini menggambarkan bahwa target untuk tumbuh 8 persen pada tahun 2029 semakin sulit untuk diwujudkan,” ujarnya dalam keterangannya, dikutip Selasa, 9 Desember.
Wijayanto memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2026 hanya berada di kisaran 4,9 –5,1 persen, dengan angka tengah sekitar 5 persen.
Angka tersebut bahkan berpotensi lebih rendah apabila pemerintah gagal mengantisipasi lima jebakan ekonomi yang muncul akibat situasi maupun konsekuensi kebijakan.
Dia menyebut, beberapa faktor akan memperberat kondisi tahun 2026, seperti kabinet baru yang masih beradaptasi, tekanan fiskal dan makro yang belum mereda, persaingan ekspor yang makin ketat, serta pelemahan sektor riil akibat persoalan struktural.
“Ekonomi berpotensi tumbuh di bawah nilai tengah apabila Pemerintah tidak berhasil mengantisipasi beberapa lima jebakan ekonomi 2026, yang muncul akibat situasi atau konsekuensi dari kebijakan Pemerintah,” tuturnya.
Berikut lima jebakan ekonomi pada tahun 2026 :
1. Koperasi Desa Merah Putih (KDMP)
Wijayanto menyampaikan program KDMP dinilai rawan gagal karena dibentuk secara top-down, konsep yang belum matang, dan minim pelibatan masyarakat.
Selain itu, KDMP dinilai berpotensi bersaing dengan usaha masyarakat dan memiliki dampak ekonomi yang terbatas.
Menurutnya dengan alokasi Rp3 miliar per KDMP melalui kredit Bank Himbara yang dijamin Dana Desa, akan menimbulkan risiko kredit macet yan sangat tinggi.
“Pengalaman BUMDES, hanya sekitar 5 persen yang berhasil, padahal melibatkan masyarakat dan dibangun dengan persiapan yang lebih matang. Success rate KDMP berpotensi lebih rendah,” tuturnya.
2. Pemotongan Transfer ke Daerah (TKD)
Wijayanto menyampaikan proporsi TKD yang terus menurun memicu kesan resentralisasi dan dua pertiga provinsi sangat bergantung pada TKD, sementara sebagian besar kabupaten/kota menggunakan 80–85 persen APBD untuk belanja rutin.
Pemangkasan TKD memangkas hingga 17,7 persen di APBN 2026 membuat banyak pemerintah daerah terancam menghadapi tekanan fiskal, bahkan untuk sekadar membiayai kebutuhan dasar.
Ruang bagi daerah untuk meningkatkan PAD juga terbatas, sementara isu kenaikan PBB semakin sensitif setelah keluarnya fatwa haram dari MUI.
“Pemangkasan TKD diperkirakan membuat sejumlah proyek daerah hilang dan memicu pemangkasan pegawai honorer. Imbasnya, peran daerah sebagai motor pertumbuhan ekonomi semakin berkurang,” tuturnya.
3. Potensi Bencana Alam
Menurut Wijayanto, Indonesia menghadapi peningkatan risiko bencana akibat perubahan iklim dan kerusakan lingkungan di dalam negeri.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi potensi berbagai bencana, termasuk siklon, pada awal 2026.
Sementara itu, anggaran Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) turun signifikan dari Rp1,43 triliun di APBN 2025 menjadi hanya Rp491 miliar dalam APBN 2026.
Pemotongan TKD juga membuat pemerintah daerah makin terbatas dalam pencegahan maupun penanganan bencana.
“Selain membutuhkan anggaran rehabilitasi, bencana juga menghambat aktivitas ekonomi dan memberi tekanan bagi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB),” jelasnya.
4. Dramatisasi Pemberantasan Korupsi
Wijayanto menyoroti perbedaan besar antara metode penghitungan nilai korupsi di negara maju dan Indonesia.
Menurut dia, negara maju menghitung kerugian riil, sementara Indonesia memasukkan potensi kerugian yang belum tentu terjadi.
Dia menilai sejumlah kasus menunjukkan kejanggalan, seperti kasus PT Timah dengan nilai dugaan korupsi Rp300 triliun sementara PDRB Bangka Belitung hanya Rp75 triliun.
Hal serupa juga terlihat pada kasus oplosan Pertalite yang disebut merugikan negara Rp968 triliun, padahal total subsidi BBM dan LPG 2018–2023 hanya Rp806 triliun dan total penjualan Pertalite Rp1.122 triliun.
Kasus PT ASDP Indonesia Ferry pun dinilai bermasalah karena perbedaan metode valuasi.
Menurutnya, pembesaran nilai korupsi memunculkan efek domino negatif. “Efeknya merusak reputasi bangsa, memperburuk index korupsi, menimbulkan public apathy, pengusaha takut berbisnis dan investor takut berinvestasi. Sehingga pertumbuhan PDB tertekan ke bawah,” ungkapnya.
5. BUMN Sakit dan Penugasan Tidak Realistis
Wijayanto menyatakan bahwa meskipun Danantara sebagai Sovereign Wealth Fund menunjukkan komitmen kuat, lembaga ini mewarisi banyak BUMN tidak sehat yang membutuhkan restrukturisasi besar.
Adapun saat ini, 95 persen dividen BUMN hanya berasal dari delapan perusahaan, terutama empat bank besar. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar dari sekitar 1.000 BUMN berada dalam kondisi tidak optimal.
Ia menyampaikan penugasan yang dianggap tidak realistis seperti pembangunan peternakan ayam, kampung haji, hingga proyek waste to energy semakin membebani kinerja BUMN.
Wijayanto menilai Danantara perlu diberi ruang lebih luas untuk berinovasi agar dapat berkembang layaknya Temasek di Singapura atau Khazanah di Malaysia dalam 10 tahun mendatang.
