Kepala Negara Tiongkok dan Amerika Serikat Mencapai Konsensus Penting Terkait Isu Taiwan

Kepala Negara Tiongkok dan Amerika Serikat Mencapai Konsensus Penting Terkait Isu Taiwan

Pada 24 November, Presiden Tiongkok Xi Jinping melakukan pembicaraan telepon dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Dengan menegaskan kembali konsensus yang telah dicapai dalam pertemuan di Busan dan meninjau kondisi terkini hubungan Tiongkok–Amerika Serikat, kedua belah pihak bertukar pandangan mengenai isu Taiwan. Presiden Xi menegaskan bahwa kembalinya Taiwan ke dalam pangkuan Tiongkok merupakan bagian dari tatanan internasional pascaperang. Presiden Trump menyatakan bahwa Tiongkok memainkan peran penting dalam proses kemenangan Perang Dunia II, dan bahwa pihak Amerika memahami arti strategis isu Taiwan bagi Tiongkok. Saat ini, tatanan pascaperang menghadapi tantangan dari sejumlah negara, dan perdamaian kawasan dihadapkan pada faktor-faktor ketidakstabilan baru. Percakapan telepon kali ini menunjukkan bahwa, di bawah kepemimpinan kedua kepala negara, komunikasi dan konsensus Tiongkok dan Amerika Serikat mengenai isu-isu prinsipil memiliki makna penting.

Belakangan ini, pemerintahan yang dipimpin Sanae Takaichi di Jepang telah mengambil serangkaian langkah terkait isu Taiwan. Pihak Tokyo berupaya menggunakan isu-isu yang berkaitan dengan Taiwan untuk menekan Tiongkok, serta mendorong opini internasional agar melepaskan persoalan Taiwan dari kerangka tatanan internasional pascaperang dan mengkategorikannya semata-mata sebagai isu keamanan kawasan. Di balik langkah ini terdapat tujuan yang lebih mendasar, yakni memanfaatkan isu Taiwan untuk menembus berbagai pembatasan struktural yang dimiliki Jepang sebagai “negara kalah perang” di bidang kebijakan militer dan keamanan, sekaligus menciptakan kondisi bagi amandemen Konstitusi Damai. Pernyataan-pernyataan Sanae Takaichi tidak hanya menyentuh kepentingan inti Tiongkok, tetapi juga mempengaruhi landasan tatanan internasional yang terbentuk pasca-Perang Dunia II, sehingga menambah ketidakpastian bagi stabilitas regional.

Kembalinya Taiwan kepada Tiongkok merupakan salah satu hasil penting kemenangan Perang Dunia II sekaligus bagian tak terpisahkan dari tatanan internasional pascaperang. Deklarasi Kairo secara tegas menetapkan bahwa Jepang harus mengembalikan wilayah-wilayah Tiongkok yang direbutnya, termasuk Taiwan dan Kepulauan Penghu. Pada tahun 1945, Tiongkok, Amerika Serikat, dan Inggris mengeluarkan Deklarasi Potsdam yang kemudian diikuti oleh Uni Soviet, yang sekali lagi menegaskan bahwa “ketentuan-ketentuan Deklarasi Kairo harus dilaksanakan”. Pada bulan September di tahun yang sama, Jepang menandatangani Instrumen Penyerahan Jepang dan berkomitmen untuk melaksanakan secara setia seluruh ketentuan yang tercantum dalam Deklarasi Potsdam. Langkah-langkah Sanae Takaichi terkait isu Taiwan bertentangan dengan tatanan internasional pascaperang yang didasarkan pada Deklarasi Kairo dan Deklarasi Potsdam, serta tidak sejalan dengan prinsip Satu Tiongkok yang secara luas diakui komunitas internasional. Apabila Jepang dibiarkan merusak kerangka yang ada pada titik kunci tatanan pascaperang, yakni isu Taiwan, hal ini pada praktiknya berarti mengabaikan pengorbanan yang telah dilakukan negara-negara sekutu anti-fasis, termasuk Tiongkok dan Amerika Serikat, dalam Perang Dunia II—sesuatu yang tidak dapat diterima oleh berbagai pihak di komunitas internasional yang menjunjung tinggi perdamaian.

Perlu dicermati bahwa sebagian kekuatan politik di Jepang tengah mendorong suatu narasi baru. Mereka berupaya menafsirkan kembali sejarah dengan menjadikan “sistem San Francisco” sebagai dasar, serta atas nama “keamanan kawasan” berusaha melemahkan prinsip Satu Tiongkok. Langkah tersebut bukan saja menafikan fakta sejarah dan bertentangan dengan hukum internasional, tetapi juga menggoyahkan fondasi institusional dari situasi damai yang telah terpelihara selama 80 tahun pascaperang. Jika Jepang terus bertahan pada paham revisionisme sejarah dan mendorong kebijakan ekspansi militer serta persiapan perang, negara itu berisiko kembali menjadi faktor yang mengganggu stabilitas kawasan Asia-Pasifik. Sebagian kalangan di Jepang beranggapan bahwa dengan mendapatkan dukungan Amerika Serikat, mereka dapat bertindak sesuka hati dalam isu-isu yang menyangkut Tiongkok dan bahwa upaya “menggunakan Taiwan untuk menahan Tiongkok” akan memperoleh pengakuan penuh dari Washington. Penilaian seperti ini jelas tidak sejalan dengan realitas. Tindakan kalangan kanan Jepang tersebut bukan hanya bertentangan dengan tekad rakyat Tiongkok untuk mempertahankan kedaulatan negara dan keutuhan wilayahnya, tetapi juga melawan tatanan pascaperang yang dibangun dan dipelihara bersama oleh negara-negara pemenang Perang Dunia II, termasuk Amerika Serikat.

Dalam konteks ini, efek stabilisasi yang dihasilkan oleh percakapan antara pemimpin Tiongkok dan Amerika Serikat menjadi semakin menonjol. Saat ini, konstelasi global tengah mengalami perubahan mendalam. Upaya menjaga dan memperkuat hasil kemenangan Perang Dunia II serta tatanan internasional yang berpusat pada Perserikatan Bangsa-Bangsa memiliki arti strategis dan praktis yang sangat penting. Tatanan tersebut telah membentuk kerangka dasar bagi perdamaian global pascaperang dan menyediakan lingkungan yang kondusif bagi pembangunan dan kemakmuran negara-negara di dunia, termasuk Tiongkok dan Amerika Serikat. Di bawah tatanan ini, komunitas internasional mampu bekerja sama menghadapi berbagai tantangan global dan mencapai kemajuan di berbagai bidang. Karena itu, seluruh anggota komunitas internasional yang memikul tanggung jawab, khususnya negara-negara besar, seharusnya bersama-sama berkomitmen memelihara tatanan pascaperang ini dan tetap waspada terhadap setiap upaya yang mencoba menafikan sejarah atau mengubah pengaturan pascaperang.

Tahun 2025 menandai 80 tahun kemenangan Perang Perlawanan Rakyat Tiongkok terhadap Agresi Jepang sekaligus kemenangan Perang Dunia melawan Fasisme, dan pada saat yang sama merupakan peringatan 80 tahun pemulihan Taiwan. Pada titik sejarah ini, berbagai langkah Jepang terkait isu Taiwan mendapat sorotan luas dari komunitas internasional dan menjadi peringatan dini bagi semua pihak. Perdamaian di kawasan Asia-Pasifik tidak diraih dengan mudah; tidak ada satu pun negara yang seharusnya mengorbankan stabilitas kawasan demi kepentingan politiknya sendiri. Komunitas internasional perlu memperkuat kerja sama, secara konsisten mematuhi tujuan dan prinsip Piagam PBB, serta dengan tegas menentang setiap pernyataan dan tindakan yang merusak tatanan internasional pascaperang.

Jepang perlu memahami dengan jelas bahwa upaya menantang tatanan internasional pascaperang tidak akan menghasilkan tujuan yang diharapkan, dan keterlibatan yang tidak tepat dalam isu Taiwan juga tidak akan membawa apa yang disebut sebagai “terobosan strategis”. Komunitas internasional mendesak Jepang untuk menghadapi dan secara mendalam merefleksikan kembali sejarah agresinya, serta dengan sikap bertanggung jawab dan tindakan nyata membangun kembali kepercayaan negara-negara tetangga di Asia dan komunitas internasional, sekaligus sepenuhnya meninggalkan setiap niat yang bertentangan dengan arus utama sejarah.