Negara dan Pemimpin: Menjaga Batas dalam Demokrasi Nasional 5 Desember 2025

Negara dan Pemimpin: Menjaga Batas dalam Demokrasi
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        5 Desember 2025

Negara dan Pemimpin: Menjaga Batas dalam Demokrasi
Sekertaris Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Pendeta Gereja Kristen Indonesia (GKI)
STEVEN
Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam bukunya
How Democracies Die
(2018) menunjukkan bahwa demokrasi modern tidak runtuh secara dramatis melalui kudeta atau pembubaran paksa lembaga negara.
Mereka mengingatkan bahwa demokrasi justru sering melemah dari dalam: secara perlahan, legal, dan nyaris tak disadari.
Salah satunya, melalui
pemimpin
yang terpilih secara demokratis, tetapi kemudian mempersonalisasi
kekuasaan
.
Levitsky dan Ziblatt mengingatkan bahwa tanda-tandanya sering sangat halus: ketika kritik dianggap ancaman terhadap kemajuan negara, ketika hukum dibelokkan demi mendukung kepentingan kekuasaaan.
Bentuk lainnya, ketika program negara dipresentasikan sebagai komitmen pribadi penguasa. Ketika yang terakhir terjadi, batas antara pemimpin dan negara menjadi kabur.
Dalam literatur klasik, gejala ini dirangkum dalam ungkapan Louis XIV, “L’État, c’est moi”, “Negara adalah saya.”
Tentu Indonesia tidak sedang menuju monarki absolut. Namun, personalisasi kekuasaan dalam diri pemimpin relevan sebagai pengingat agar demokrasi Indonesia tidak mengalami kemunduran dan menjadi hancur.
Beberapa sinyal awal personalisasi kekuasaan tampak dalam bahasa yang dipakai Presiden Prabowo Subianto.
Beberapa kali, Prabowo menampilkan diri sebagai sosok dengan misi sejarah dan tanggung jawab yang sudah “ditakdirkan” untuk bangsa Indonesia.
Narasi bahwa 08 adalah julukannya selagi masih berdinas di Tentara, menjadi presiden ke 8 RI, memimpin HUT RI di dekade ke 8 menguatkan “takdirnya” sebagai pemimpin bangsa.
Narasi semacam ini sah-sah saja dan bukan persoalan pada dirinya. Namun, dalam teori politik ia dapat menjadi fondasi munculnya
fusion of leader and state
.
Secara subtil, legitimasi negara melekat pada pribadi pemimpin. Pada titik ini, bisa terjadi personalisasi kekuasaan presiden.
Padahal, Negara demokrasi seharusnya dibangun oleh
rule of law
dan institusi bukan berpusat kepada persona pemimpinnya.
Dalam konteks inilah pernyataan Presiden Prabowo bahwa dirinya “bertanggung jawab atas utang proyek Whoosh” perlu dibaca secara cermat.
Walau dapat dimaknai sebagai tanggung jawab pemimpin, secara institusional utang negara adalah keputusan sistem anggaran. Ketika bahasa negara diucapkan dalam bentuk komitmen personal, batas antara pemimpin dan negara mulai berubah.
Fenomena personalisasi juga tampak dalam penggunaan bahasa yang bersifat populis dan hitam putih.
Dalam beberapa kesempatan, retorika yang digunakan memberi kesan pembelahan hitam-putih antara mereka yang dianggap ‘setia’ dan ‘tidak setia’.
Misalnya, saat Pidato di hari kelahiran Pancasila, Presiden Prabowo berkata: “Mereka-mereka yang tidak setia kepada negara akan kita singkirkan dengan tidak ragu-ragu, tanpa memandang bulu tanpa melihat keluarga siapa, partai mana, suku mana, yang tidak setia kepada negara,”(
Kompas
, 2 Juni 2025).
Personalisasi semakin terlihat dalam program-program ekonomi yang dalam persepsi publik dilekatkan pada figur presiden.
Salah satunya adalah makan bergizi gratis (MBG), inisiatif penguatan ekonomi rakyat yang secara formal berada dalam domain kementerian dan lembaga teknis.
Namun, karena presiden tampil langsung sebagai juru penjelas visi program tersebut, masyarakat kemudian melihatnya sebagai “program presiden”.
Dalam kacamata teori personalisasi kekuasaan, simbol dan visi kebijakan negara yang dilekatkan pada figur pemimpin mempercepat pengaburan batas antara institusi dan persona.
Fenomena lain terlihat pada penempatan sejumlah anggota tim sukses dan kampanye dalam jabatan negara.
Kompensasi politik memang lazim dalam demokrasi. Namun, ketika jabatan strategis diberikan terutama berdasarkan kedekatan personal, tata kelola negara menjadi kumpulan jejaring loyalis, bukan profesionalisme kelembagaan.
Literatur neo-patrimonialism melihat pola semacam ini sebagai tanda awal bahwa pejabat negara berfungsi lebih sebagai perpanjangan kehendak pemimpin dibanding sebagai bagian dari institusi yang otonom.
Risiko terbesar personalisasi kekuasaan terletak pada cara negara merespons kritik. Dalam demokrasi, kritik dipahami sebagai bagian dari perbaikan.
Namun, dalam sistem yang mempersonalisasi pemimpin, kritik terhadap kebijakan sering diperlakukan sebagai serangan terhadap negara.
Ini pola klasik yang diteropong dalam politik sebagai kemunduran demokrasi. Ketika pemimpin dan negara dianggap identik, perbedaan pendapat dan kontrol dalam demokrasi ditafsirkan penguasa sebagai ancaman dan musuh bangsa.
Kita mulai melihat pola ini dalam ruang publik: kritik dibalas dengan tudingan “anti-negara”, “antek asing”, “tidak sesuai dengan UUD 1945”, atau “musuh negara”.
Padahal, demokrasi memberi ruang pada kritik sebab kekuasaan yang tanpa kritik akan menghancurkan bangsa dan menyengsarakan rakyat.
Agar demokrasi tetap terpelihara dan tidak mengalami kemunduran, kita perlu menghindari personalisasi dan pemusatan kuasa pada presiden. Caranya, dengan melihat negara sebagai entitas yang lebih besar dari pemimpin.
Presiden memang pemimpin negara. Namun, program strategis negara tidak boleh dilekatkan pada figur presiden.
Dalam demokrasi, kebijakan publik lahir dari kerja kolektif lembaga negara. Ketika program dibingkai sebagai “program presiden”, kita sedang mengaburkan fakta bahwa pemimpin secara kolektif dan berdasarkan aturan adalah penyelenggara negara, bukan pemilik negara.
Menjaga batas ini berarti memastikan keberhasilan dan kegagalan negara tetap menjadi keberhasilan dan kegagalan institusi demokrasi, bukan pribadi.
Selain itu, negara perlu dikelola oleh pribadi-pribadi yang punya kapasitas, rekam jejak, integritas, bukan kedekatan dan loyalitas personal.
Negara membutuhkan birokrasi yang kuat, bukan kumpulan loyalis yang cenderung bekerja berdasarkan subyektifitas dan kedekatan.
Dari sisi pemimpin, sulit baginya bersikap tegas dan disiplin jika orang dekatnya tidak punya kapasitas dan integritas dalam membangun negara. Rakyat dan pemerintah mestinya belajar dari masa lalu tentang bagaimana KKN merusak negara.
Terakhir, bangsa ini perlu menghidupi budaya demokrasi yang menjamin terjadinya kontrol terhadap kekuasaan.
Kritik terhadap kebijakan harus dipahami sebagai kontribusi, bukan ancaman, apalagi dilihat sebagai musuh negara.
Kritik konstruktif sejatinya bentuk paling jujur dari kesetiaan rakyat kepada republik. Loyalitas bukan berarti membenarkan semua keputusan pemimpin, tetapi menjaga agar kekuasaan berjalan sesuai dengan mandat konstitusi.
Pemimpin selalu berganti, tetapi visi bangsa sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 harus menjadi kompas berbangsa.
Demokrasi yang dewasa adalah demokrasi yang tahu kapan mengagumi pemimpin dan kapan harus mengingatkan bahwa negara bukanlah dirinya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.