Kekayaan untuk Oligarki, Bencana Alam untuk Rakyat
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
HUTAN
, sungai, dan pegunungan di Sumatra — yang selama berabad menopang kehidupan masyarakat lokal — kini berubah menjadi medan akumulasi modal: tambang, kebun kelapa sawit, dan infrastruktur ekstraktif yang mengubah wajah lanskap.
Ketika hujan muson dan siklon bertemu ekosistem yang tergerus, yang jatuh bukan hanya pohon atau tanah; yang runtuh adalah keselamatan sosial dan ketahanan hidup komunitas korban bencana.
Peristiwa banjir dan longsor besar-besaran yang melanda beberapa provinsi di Sumatra baru-baru ini menjadi cermin tajam dari pola tersebut: korban jiwa, ribuan rumah terendam, dan rekaman video viral yang menampilkan kerusakan, evakuasi, bahkan insiden penjarahan di beberapa titik. Laporan-laporan awal menyebut ratusan tewas dan ribuan mengungsi di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat.
Data dan analisis lingkungan menunjukkan bahwa deforestasi di Indonesia tetap masif, dengan hilangnya hutan primer dan konversi lahan dalam jumlah besar tiap tahun — sebagian besar terjadi di dalam konsesi yang dilegalisasi untuk kehutanan, perkebunan, dan tambang. Pergeseran ini membuat fungsi hidrologis hutan—penyimpanan air, penahan longsor, dan penyangga banjir—semakin rapuh.
Ketika daerah hulu dikupas untuk kelapa sawit atau tambang, curah hujan ekstrem jauh lebih mudah berubah menjadi aliran deras yang menghancurkan permukiman di hilir. Studi kasus Sumatera Utara menunjukkan koneksi langsung antara pembukaan lahan perkebunan sawit atau aktivitas tambang dan meningkatnya kerentanan banjir-longsor.
WALHI—Wahana Lingkungan Hidup Indonesia—secara terbuka menunjuk sejumlah korporasi dan praktik ekstraktif sebagai pemicu utama kerusakan ekologis yang memperparah bencana. Dalam pernyataannya, WALHI menyerukan akuntabilitas perusahaan dan perbaikan kebijakan kehutanan untuk mencegah bencana berulang.
JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) menyorot pola yang sama pada sektor pertambangan: ekspansi tambang bukan hanya merusak habitat tetapi juga mengubah aliran air, menyebabkan sedimentasi sungai, dan berdampak langsung pada kapasitas daerah menahan hujan ekstrem.
Gerakan anti-tambang menilai kebijakan berbasis ekstraksi kerap memberi keuntungan pada aktor besar sementara menempatkan masyarakat lokal pada risiko tinggi.
Permodelan ekonomi dan kebijakan pembangunan yang mengedepankan konversi hutan menjadi lahan komersial telah menghasilkan konsentrasi lahan dan modal — yang sering kali berujung pada apa yang bisa disebut “kekayaan untuk
oligarki
”.
Reklamasi luas lahan untuk perkebunan berskala besar dan proyek tambang menambah pendapatan kelompok-kelompok tertentu, tetapi manfaat ini jarang mengalir ke komunitas yang kehilangan lahan dan akses sumber daya alam. Sementara itu, biaya sosial-ekologis seperti meningkatnya frekuensi bencana, hilangnya mata pencaharian, dan beban rekonstruksi dibayar rakyat banyak.
Respons pemerintah terhadap bencana kerap menonjolkan operasi darurat dan distribusi bantuan, namun jarang diikuti reformasi struktural yang mengatasi akar masalah: perizinan yang longgar, klaim konsesi yang tumpang tindih, dan lemahnya penegakan terhadap perusakan lingkungan.
Beberapa upaya penegakan baru-baru ini, termasuk operasi
reclaiming
lahan ilegal, menuai pro dan kontra: memulihkan sebagian hutan tetapi juga menimbulkan konflik dengan masyarakat yang mengaku sebagai pemilik lahan atau petani kecil.
Para akademisi dan organisasi lingkungan menekankan perlunya dua hal bersamaan: mitigasi darurat untuk melindungi korban sekarang, dan reformasi tata kelola sumber daya alam untuk mencegah bencana berikutnya.
Reformasi itu meliputi revisi perizinan konsesi agar transparan dan berbasis risiko ekologis; moratorium perluasan lahan di wilayah rawan bencana; pemulihan hutan dan penguatan hak-hak masyarakat adat dan petani kecil; serta integrasi penilaian risiko iklim ke dalam setiap pemberian izin investasi.
WALHI dan JATAM menuntut langkah-langkah yang lebih pro-rakyat: penghentian praktik ekstraktif yang destruktif, penegakan hukum kepada korporasi perusak, dan pemulihan ruang hidup sebagai bagian dari pemulihan pascabencana.
Kasus banjir Sumatra yang viral ini semestinya menjadi pintu observasi: bukan sekadar hitungan korban dan bangunan yang runtuh, tetapi refleksi atas model pembangunan yang memungkinkan alam dijadikan komoditas sementara masyarakat menanggung risiko.
Jika
kekayaan alam
terus mengalir ke segelintir pemilik modal tanpa keadilan distribusi dan pertimbangan ekologis, maka bencana selanjutnya bukan sekadar kemungkinan — melainkan urutan yang terus berulang.
Komitmen untuk menghentikan logika profit di atas keselamatan rakyat adalah tindakan pencegahan paling dasar: bukan hanya berbicara soal respon pascabencana, tetapi merombak struktur yang selama ini menjadikan hutan sebagai ladang bisnis dan rakyat sebagai pihak yang menanggung akibatnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kekayaan untuk Oligarki, Bencana Alam untuk Rakyat Nasional 2 Desember 2025
/data/photo/2025/11/29/692a4b8828bf1.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)