Banjir dan Longsor di Aceh-Sumbar Akibat Deforestasi Diprediksi Rugikan Rp 68 T

Banjir dan Longsor di Aceh-Sumbar Akibat Deforestasi Diprediksi Rugikan Rp 68 T

Jakarta

Bencana alam berupa longsor dan banjir bandang melanda tiga provinsi Indonesia, yakni Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar). Berdasarkan video beredar, tampak gelondongan kayu ikut terseret banjir bandang yang disinyalir akibat maraknya illegal logging di wilayah tersebut.

Berdasarkan data Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Indonesia mengalami penurunan persentase tutupan hutan dalam dua dekade terakhir, dari 54% pada 2000 menjadi 48% pada 2022. Data ini menunjukkan masifnya kejahatan kehutanan yang membuat negara rugi triliunan per tahun.

Ekonom CELIOS, Nailul Huda, menjelaskan penurunan tutupan hutan berjalan seiring peningkatan lahan untuk perkebunan kelapa sawit dan pertambangan yang diduga terjadi di Sumatera. Ia menilai dorongan pemerintah untuk memperluas lahan produktif kelapa sawit demi program biodiesel telah memberi ruang bagi perusahaan membuka lahan melalui penebangan pohon.

“Kita menduga hal serupa terjadi di Sumatera. Hal ini tidak terlepas dari ‘support’ pemerintah yang mendorong peningkatan lahan produktif kelapa sawit untuk program biodiesel. Ke depan bahkan bukan hanya untuk sawit, tapi untuk tanaman lainnya yang bisa menghasilkan biodiesel. Akibatnya, banyak perusahaan yang membuka lahan sawit dengan menebang pohon,” jelasnya saat dihubungi detikcom, Senin (1/12/2025).

Selain perluasan perkebunan sawit, risiko bencana ekologis juga terjadi akibat aktivitas tambang. Setidaknya terdapat empat risiko kerugian akibat tambang di Sumatera, yakni akses terhadap air minum bersih di desa dengan tambang sebagai sektor utama lebih sulit dibanding desa lain, potensi pencemaran tanah di desa tambang lebih tinggi, potensi pencemaran udara, potensi bencana banjir, dan kebakaran lahan di desa tambang lebih tinggi.

Rugi Rp 2 Triliun Setiap Provinsi Terdampak

Huda menjelaskan, masyarakat Sumatera menelan kerugian yang besar imbas banjir bandang yang menerpa wilayahnya. Untuk kerugian rumah masing-masing mencapai Rp 30 juta per unit. Sementara untuk jembatan yang runtuh, biaya pembangunan kembali mencapai Rp 1 miliar.

Berdasarkan data CELIOS, kerugian lahan sawah juga mencapai Rp 6.500 per kg dengan asumsi per hektare lahan menghasilkan 7 ton. Kemudian untuk perbaikan jalan per 1000 meter mencapai Rp 100 juta. Huda merinci, Provinsi Aceh diproyeksi rugi Rp 2,2 triliun, Sumatera Utara Rp 2,07 triliun, dan Sumatera Barat Rp 2,01 triliun.

Selain itu, Huda juga menyebut setiap penambahan satu hektare lahan sawit dalam hutan dapat menurunkan produksi sektor kehutanan hingga 2%. “Bencana ekologis dipicu oleh alih fungsi lahan karena deforestasi sawit dan pertambangan. Sementara sumbangan dari tambang dan sawit bagi provinsi Aceh misalnya, tak sebanding dengan kerugian akibat bencana yang ditimbulkan,” ungkap Huda.

Akumulasi Rugi Imbas Bencana Rp 68 Triliun

Huda menjelaskan, bencana ekologis di Sumatera ditaksir mencapai Rp 68,67 triliun di periode November 2025. Angka tersebut mencakup kerugian akibat bencana ekologis yang muncul akibat degradasi hutan, kerusakan rumah penduduk, kehilangan pendapatan rumah tangga, rusaknya fasilitas infrastruktur jalan dan jembatan, dan hilangnya produksi lahan pertanian.

“Bencana ekologis di Sumatera periode November 2025 diproyeksi telah mengakibatkan kerugian ekonomi Rp 68,67 triliun,” ungkapnya.

Huda menambahkan, CELIOS mendesak moratorium izin tambang dan perluasan kebun sawit segera dilakukan. Menurutnya, sudah waktunya pemerintah beralih ke ekonomi berkelanjutan untuk menghindari bencana ekologis di kemudian hari.

“Sudah waktunya beralih ke ekonomi yang lebih berkelanjutan, ekonomi restoratif. Tanpa perubahan struktur ekonomi, bencana ekologis akan berulang dengan kerugian ekonomi yang jauh lebih besar,” pungkasnya.

(ahi/ara)