7 Fatwa MUI soal Bumi dan Bangunan Tak Layak Kena Pajak, PP Muhammadiyah Singgung Kinerja Eks Menkeu Sri Mulyani Regional

7
                    
                         Fatwa MUI soal Bumi dan Bangunan Tak Layak Kena Pajak, PP Muhammadiyah Singgung Kinerja Eks Menkeu Sri Mulyani
                        Regional

Fatwa MUI soal Bumi dan Bangunan Tak Layak Kena Pajak, PP Muhammadiyah Singgung Kinerja Eks Menkeu Sri Mulyani
Tim Redaksi
MAGELANG, KOMPAS.com –
Majelis Ulama Indonesia (MUI) baru saja mengeluarkan fatwa bahwa bumi dan bangunan berpenghuni tidak layak dikenakan pajak berulang.
Ketua Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Hikmah Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah
Busyro Muqoddas
menilai polemik
pajak berulang
tidak lepas dari politik perpajakan selama Sri Mulyani menjabat sebagai Menteri Keuangan.
Mulanya, Busyro menyatakan fatwa
Pajak Berkeadilan
yang dikeluarkan
MUI
menjadi momentum untuk mereformasi perpajakan agar menimbulkan keadilan bagi masyarakat.
“Ini kesempatan emas Presiden dengan Menteri (Keuangan) barunya untuk membongkar politik perpajakan, bersama masyarakat sipil, kampus, periset,” bebernya saat ditemui di Sekolah Menengah Kejuruan Muhammadiyah Bandongan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (30/11/2025).
Busyro menekankan bahwa tidak hanya PBB, melainkan seluruh jenis pajak yang mesti direformasi.
Ia khawatir apabila reformasi perpajakan tidak dilakukan, dapat menimbulkan keresahan di masyarakat.
Ia pun menyinggung kasus rencana kenaikan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) di Pati hingga 250 persen yang memicu demonstrasi dan menuntut Sudewo lengser dari Bupati Pati.
“Kalau ini tidak segera, dikhawatirkan rakyat akan menjadi korban terus dari politik perpajakan yang tidak memihak selama Menteri Keuangan yang dulu, Bu Sri Mulyani,” cetus mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi itu.
Sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan lima fatwa dalam Musyawarah Nasional (Munas) ke-XI yang digelar selama empat hari sejak 20-23 November 2025 di Mercure Ancol, Jakarta Utara.
Lima fatwa tersebut mayoritas berkaitan dengan keuangan, seperti manfaat produk asuransi kematian pada asuransi jiwa syariah, status saldo kartu uang elektronik yang hilang atau rusak, kedudukan rekening dormant, dan pajak berkeadilan.
Satu fatwa lainnya berkaitan umum terkait dengan pengelolaan sampah di sungai, danau, dan laut untuk mewujudkan kemaslahatan umat.
Terkait dengan pajak berkeadilan, Ketua Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni’am mengatakan, pada dasarnya pajak bukan cara yang elok untuk mensejahterakan rakyat.
Karena dalam Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 menegaskan, pengelolaan sumber daya di Tanah Air adalah cara yang utama.
“Negara wajib bertanggung jawab mengelola dan memanfaatkan seluruh kekayaan negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, artinya hubungan antara negara dan juga rakyat ini kontrak sosial untuk kepentingan perwujudan kesejahteraan melalui pendayagunaan kekayaan negara,” kata Asrorun saat ditemui jelang penutupan Munas MUI, Sabtu (22/11/2025).
Klausul Pajak Berkeadilan yang ditetapkan MUI adalah terkait dengan pengenaan pada harta yang berpotensi untuk produktivitas dan merupakan sekunder serta tersier.
Pajak harus digunakan untuk kepentingan publik secara luas, prinsip adil, dan pengelolaan yang transparan dan bertanggung jawab.
MUI juga menetapkan agar pajak secara berulang tak seharusnya dibebankan kepada kebutuhan pokok masyarakat, seperti sandang, papan, dan pangan.
Secara spesifik, MUI meminta agar barang konsumtif kebutuhan primer seperti sembako tidak boleh dibebankan pajak.
“Kemudian (pajak) bumi dan bangunan yang dihuni, dalam pengertian dia nonkomersial, tidak boleh dikenakan pajak berulang karena pada hakikatnya dia tidak berkembang,” imbuh dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.