JAKARTA – Sistem pengelolaan royalti di Indonesia masih berada dalam dinamika dan diskursus. Kebijakan blanket license yang selama ini diterapkan LMK-LMK dinilai tak memberi kepuasan dan transparansi yang dibutuhkan pihak-pihak terkait.
Penerapan pembayaran kolektif ini juga menjadi dalih untuk penarikan royalti atas lagu-lagu yang masuk ranah public domain. Ujungnya, jumlah unclaimed royalty jadi membengkak dan peruntukannya sangat berpotensi disalahgunakan.
Sejumlah musisi memperjuangkan sistem direct license yang lebih akurat dan akuntabel. Dengan bantuan perangkat digital, distribusi royalti akan tercatat rapi dan bisa dilacak sampai informasi terkecil.
Direct license juga memotong mata rantai birokrasi, membuat penyaluran royalti langsung mengarah ke pemilih hak cipta tanpa campur tangan pihak lain. Dari sisi pengusaha, transparansi ini juga dirasa lebih fair kepada para musisi dan pencipta lagu.
Jerry Chen, CEO USEA Global, perusahaan teknologi audio global yang menyediakan platform manajemen musik terpusat berbasis cloud, merasa sistem direct license dapat membantu mengurai kusutnya distribusi royalti di beberapa negara, termasuk Indonesia.
“Sepanjang pengalaman saya, baru Amerika Serikat yang berhasil menerapkan direct licensing di mana pemerintah tidak campur tangan. Dan menurut saya ini pendekatan yang baik untuk industri musik. Tapi ini akan jadi tantangan besar di beberapa negara Asia Tenggara, seperti Indonesia, karena ada uang besar yang dipertaruhkan,” tutur Jerry dalam wawancara dengan VOI belum lama ini.
Direct License mendapat tentangan dari berbagai pihak karena dinilai sulit dikontrol, ketika musisi menerapkan harga mereka masing-masing dan berpotensi menimbulkan friksi dengan penggunanya. Namun Jerry melihat ini adalah hal yang lumrah, di mana pasar terbuka dan akan muncul persaingan sehat secara harga.
“Boleh saja, kenapa tidak. Kalau ada musisi yang pasang harga mahal untuk memutar lagunya, akan ada musisi-musisi lain yang siap bersaing dengan harga lebih murah. Biarkan pasar yang memilih,” tegasnya.
Selain Amerika Serikat, pendekatan direct license juga digunakan dengan ketentuan khusus di Jepang dan Korea Selatan. Bukan sebagai satu-satunya sistem, tapi pendekatan ini bisa jadi alternatif bagi musisi untuk menjual karyanya dengan cara masing-masing.
Ahmad Dhani termasuk yang sudah memberlakukan sistem direct licensing terhadap para musisi yang membawakan lagunya. Meski belum diketok secara sah, ia bersama AKSI tengah menyiapkan Digital Direct License yang dianggap bisa jadi alternatif blanket license yang kurang transparan.
“Mungkin Indonesia bisa jadi yang pertama di ASEAN yang melakukan ini. Tapi sekali lagi, tantangannya akan sangat berat,” tandas Jerry Chen.
