Kekerasan Simbolik di Balik Krisis Ekologis
Mahasiswa S3 Ilmu Sosial Universitas Airlangga, dosen Universitas Muhammadiyah Malang
BENCANA
sejatinya tidak pernah lahir dari ruang hampa, dan tidak terjadi secara alamiah. Bencana yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan sekitarnya adalah potret nyata bahwa bencana merupakan akumulasi dari perselingkuhan antara kekuatan politik dan logika kapitalisme.
Tragedi itu menyingkap siapa yang berkuasa, siapa yang punya modal, dan siapa yang menanggung akibat dari semua itu.
Kasus di berbagai wilayah Sumatera menunjukkan pola yang sama terjadinya deforestasi struktural, ekspansi ekonomi ekstraktif, serta lemahnya regulasi dan pengawasan yang pada akhirnya membuat masyarakat menjadi korban dari keputusan besar yang tidak pernah mereka buat.
Filsuf Perancis Pierre Bourdieu menyebutnya sebagai kekerasan simbolik. Ini adalah sebuah bentuk kekerasan yang paling berbahaya karena bekerja tanpa tampak sebagai kekerasan. Kekerasan ini hadir ketika sebuah sistem membuat ketidakadilan terlihat normal, bahkan seolah dapat diterima melalui bahasa dan narasi.
Dalam konteks bencana ekologis, kekerasan simbolik bekerja setiap kali pemerintah menyebut banjir sebagai musibah alam, bukan sebagai kegagalan tata kelola. Pembukaan hutan dibingkai sebagai narasi pengembangan wilayah, dan alih fungsi lahan dibingkai sebagai narasi pembangunan untuk pertumbuhan ekonomi.
Lalu, masyarakat diminta menjaga alam dan lebih sadar lingkungan, padahal yang merusak ekosistem secara masif adalah
pemegang modal
yang bahkan tidak tinggal di wilayah tersebut.
Dengan begitu, banjir bukan hanya air yang meluap, tetapi juga narasi yang meluap. Narasi ini mengaburkan relasi kuasa di baliknya. Bourdieu menyebutnya sebagai
misrecognition
, adanya ketidaksetaraan yang terang-terangan.
Di Sumatera dan juga berbagai wilayah lain di tanah air, masyarakat menerima banjir sebagai siklus tahunan. Padahal siklus itu sesungguhnya buatan manusia yang lahir sebagai produk dari ekspansi sawit, pembalakan, pemutihan izin, dan tumpang tindih wewenang dan seterusnya, yang diselimuti dengan bahasa pembangunan dan pengembangan ekonomi.
Konsep Bourdieu tentang lapangan (
field
) kekuasaan menjadi penting untuk memahami bahwa setiap kebijakan lingkungan bukan lahir di ruang hampa. Setiap kebijakan lahir dari negosiasi antara aktor-aktor dengan kekuatan beragam, mulai perusahaan, politisi, birokrat, aparat penegak hukum, hingga kelompok masyarakat sipil yang tidak memiliki kekuatan setara.
“Lapangan” itu tidak simetris. Bagi yang punya modal ekonomi dan politik bukan hanya mampu membuka hutan, tetapi juga mampu mendefinisikan apa yang dianggap rasional, progresif, dan pembangunan untuk pertumbuhan ekonomi.
Maka, banjir di berbagai wilayah di Sumatera dengan demikian adalah hasil dari persaingan dalam “lapangan kekuasaan” tersebut, di mana aktor yang paling kuat bukan hanya memenangkan kebijakan, tetapi juga memenangkan definisi kebanaran menurut versinya.
Dalam kasus di Sumatera, warga yang kehilangan rumah, sawah, penghidupan, bahkan anggota keluarga, tidak pernah hadir dalam rapat perizinan. Mereka tidak punya ruang representasional dalam lapangan kekuasaan. Suara mereka kerap disingkirkan karena dianggap tidak memahami kompleksitas ekonomi, padahal merekalah yang paling memahami dampaknya.
Nancy Fraser, seorang filsuf politik dan feminis Amerika, menyebut ini sebagai
misframing
, yakni proses ketika suatu kelompok disingkirkan dari kerangka keputusan yang menentukan hidup mereka.
Bagi Fraser, krisis lingkungan adalah masalah keadilan. Bukan sekadar keadilan distributif tentang siapa mendapatkan apa, tetapi juga keadilan representasi dan pengakuan (
recognition
). Krisis ekologis, menurut Fraser, adalah gejala dari model ekonomi-politik yang mengutamakan akumulasi dan mengorbankan reproduksi sosial dan ekologis.
Singkatnya, alam diperlakukan sebagai
underpaid labor
, dipaksa bekerja terus-menerus untuk menopang keuntungan segelintir pihak, tetapi tidak pernah diakui kontribusinya. Maka ketika alam murka, air meluap, tanah longsor, dan bencana datang, kelompok yang tidak menikmati keuntungan justru menjadi kelompok yang menanggung biaya paling mahal.
Pada titik ini, bisakah kita mengambil sebuah kesimpulan bahwa apa yang terjadi di banyak daerah Sumatera hari ini sesungguhnya adalah kegagalan moral-politik dan keserakahan moral-ekonomi?
Pertanyaannya kemudian, apa yang bisa dilakukan? Di ruang publik, pemerintah bisa terus membangun narasi baru tentang pembangunan hijau, tetapi tanpa redistribusi kekuasaan dalam lapangan politik dan tanpa demokratisasi proses perizinan, siklus bencana akan terus berulang.
Masyarakat sipil perlu didorong bukan hanya untuk bergotong royong membersihkan lumpur dan memberikan bantuan kemanusiaan, tetapi lebih jauh juga harus masuk ke lapangan kuasa guna mengawal kebijakan, mengawasi perizinan, menuntut akuntabilitas korporasi, dan memperjuangkan representasi masyarakat lokal dalam setiap keputusan yang mempengaruhi hidup mereka.
Sejak awal, ini bukan tentang alam. Ini tentang siapa yang berkuasa mendefinisikan kenyataan, dan siapa yang dipaksa hidup dalam konsekuensinya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kekerasan Simbolik di Balik Krisis Ekologis Nasional 30 November 2025
/data/photo/2025/11/30/692b8ff425096.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)