Prabowo Beri Pengampunan pada Kasus Korupsi, Otto: Putusan Pengadilan Bisa Tidak Benar

Prabowo Beri Pengampunan pada Kasus Korupsi, Otto: Putusan Pengadilan Bisa Tidak Benar

Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Otto Hasibuan menanggapi langkah Presiden Prabowo Subianto yang kembali memberikan pengampunan kepada terpidana korupsi.

Menjawab pertanyaan mengenai apakah pemberian pengampunan tersebut menjadi sinyal bagi aparat penegak hukum untuk melakukan introspeksi, Otto menilai hal itu dapat saja dimaknai demikian.

Hal itu disampaikan Otto usai dipanggil Presiden untuk menghadap ke Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (28/11/2025). 

“Secara umum kita mungkin bisa menafsirkan demikian, tetapi dari situlah dalam bernegara ini kan kita harus melihat apakah dengan demikian para penegak hukum harus melihat bahwa sinyal yang diberikan Presiden ini kayak apa, maka penegak hukum harus benar,” ujar Otto.

Dia menjelaskan bahwa perbedaan pandangan antara jaksa dan pihak pembela sering kali menjadi bagian dari proses peradilan. Menurutnya, jaksa bisa saja menilai tuntutannya benar berdasarkan bukti yang dimiliki, sementara terdakwa atau kuasa hukum memiliki pandangan sebaliknya.

“Tetapi jadi soal kadang-kadang begini ya, ada tuntutan hukum yang menurut jaksa benar, kemudian menurut pembela atau terdakwa tidak benar. Nah ini kan diuji oleh pengadilan. Nah, memang di sini benteng terakhirnya itu pengadilan, dia benteng terakhir,” jelasnya.

Otto menegaskan bahwa tidak serta-merta jaksa dapat disalahkan apabila putusan pengadilan berbeda dengan tuntutan mereka. Proses pembuktian, kata dia, menjadi kunci dalam menentukan benar atau tidaknya suatu dakwaan.

“Nah jadi bisa saja terjadi umumnya jaksa menganggap benar berdasarkan bukti-bukti yang ada, tetapi di pengadilan ternyata terbukti sebaliknya. Nah inilah proses hukum yang diatur. Jadi artinya keadilan itu bisa kita capai berdasarkan artinya putusan pengadilan,” ujarnya.

Meski begitu, dia tidak menutup kemungkinan adanya putusan pengadilan yang keliru. Dalam kondisi seperti itu, menurut Otto, Presiden dapat mengambil sikap berdasarkan penilaian yang menurutnya paling tepat.

“Nah, kalau ternyata putusan pengadilan yang tidak benar, nah ini menjadi subjektivitas. Nah di sini mungkin Presiden melihat mana yang baik, mana yang tidak,” tandas Otto.