Bisnis.com, JAKARTA — Inflasi kembali menjadi isu penting dalam dinamika ekonomi nasional seiring meningkatnya risiko global dan ketidakstabilan harga komoditas.
Pemahaman mengenai inflasi, penyebabnya, serta mitigasinya melalui instrumen investasi yang tepat perlu menjadi perhatian para pelaku ekonomi.
Inflasi adalah kenaikan harga barang dan jasa secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Kenaikan harga satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi kecuali berdampak luas terhadap komoditas lainnya.
Adapun kebalikan dari inflasi adalah deflasi, yaitu kondisi penurunan harga secara umum dalam periode tertentu.
Dikutip dari laman resmi Bank Indonesia (BI), Rabu (26/11/2025) inflasi bisa dipicu oleh tiga kelompok utama, yakni tekanan dari sisi penawaran, permintaan, dan ekspektasi pelaku ekonomi.
1. Tekanan dari Sisi Penawaran (Cost Push Inflation)
Inflasi jenis ini terjadi ketika biaya produksi naik sehingga memicu kenaikan harga barang dan jasa. Ada beberapa faktor pemicunya mulai dari depresiasi nilai tukar, yang meningkatkan harga impor dan biaya produksi.
Selain itu, dipicu pula oleh inflasi global atau negara mitra dagang, sehingga harga barang impor ikut terkerek naik. Faktor selanjutnya adalah kenaikan harga komoditas yang diatur pemerintah, seperti energi atau bahan pangan strategis.
Tak hanya itu, negative supply shocks akibat bencana alam atau gangguan distribusi barang juga menjadi faktor pemicu. Kondisi tersebut menyebabkan penawaran menurun sementara permintaan tetap, sehingga harga terangkat naik.
2. Tekanan dari Sisi Permintaan (Demand Pull Inflation)
Inflasi juga dapat terjadi ketika permintaan masyarakat terhadap barang dan jasa melebihi kapasitas produksi nasional. Dalam konteks makro, situasi ini muncul ketika output riil berada di atas output potensial, menandakan ekonomi berjalan terlalu panas.
3. Ekspektasi Inflasi
Ekspektasi pelaku ekonomi turut menjadi pendorong penting. Ada dua jenis ekspektasi. Pertama, ekspektasi adaptif, berdasarkan kondisi inflasi sebelumnya. Kedua, ekspektasi forward-looking, berdasarkan prediksi kebijakan atau kondisi ekonomi mendatang.
Ekspektasi yang meningkat dapat mendorong perusahaan menaikkan harga lebih awal, sementara konsumen mempercepat pembelian, sehingga mendorong inflasi lebih jauh.
Dalam kondisi inflasi yang berpotensi menekan daya beli, sejumlah instrumen investasi dinilai tetap mampu memberikan perlindungan nilai bahkan menawarkan potensi imbal hasil positif.
1. Saham
Saham dianggap sebagai instrumen yang relatif tangguh terhadap inflasi karena pertumbuhan pendapatan perusahaan umumnya berbanding lurus dengan kenaikan harga barang dan jasa.
Selain itu, potensi capital gain dan dividen menjadi sumber keuntungan utama, meski fluktuasi pasar tetap menjadi risiko yang perlu diperhatikan.
2. Properti
Investasi properti, seperti rumah atau tanah, memiliki kecenderungan nilai yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Selain berfungsi sebagai aset yang stabil, properti juga menawarkan potensi pendapatan pasif melalui skema sewa.
3. Logam Mulia atau Emas
Emas menjadi instrumen klasik yang dianggap sebagai safe haven ketika inflasi meningkat. Harga emas cenderung stabil dan mampu mempertahankan nilai aset dalam jangka panjang. Meski potensi keuntungan tidak setinggi saham, emas menjadi pilihan ideal bagi investor yang membutuhkan instrumen rendah risiko. (Angela Merici Andriani Uto Keraf)
