Bisnis.com, DENPASAR – Aksi peremajaan kakao tak bisa lagi dihindari. Produksi dalam negeri yang terus menyusut dalam sepuluh tahun terakhir memberikan sinyal awal perlunya upaya mengakselerasi hasil yang lebih optimal.
Apalagi, angka importasi biji kakao juga terus meningkat yang mengindikasikan bahwa kebutuhan dalam negeri juga terus bertumbuh seiring aksi penghiliran kakao di berbagai daerah.
Meskipun, Ketua Umum Dewan Kakao Indonesia Soetanto Abdoellah menyebut bahwa kakao Indonesia masih perkasa di tingkat Asia. Walau, imbuhnya, Indonesia kini turun peringkat dan menempati posisi ketujuh dunia sebagai produsen kakao terbesar.
Jika dikomposisikan, produksi kakao Indonesia menyumbang 3% dari pasokan global. Porsi Indonesia tersebut kalah jauh dibandingkan Pantai Gading dan Ghana dengan komposisi masing-masing 43% dan 20%.
“Kedua negara ini juga menjadi pemasok untuk kebutuhan biji kakao domestik [Indonesia],” katanya dalam forum Kontribusi Kakao untuk APBN & Perekonomian Nasional di Denpasar, Bali, Senin (24/11/2025), sore.
Selain Pantai Gading dan Ghana, peringkat Indonesia juga di bawah Ekuador, Kamerun, Nigeria, dan Brasil. Keempat negara ini memiliki porsi masing-masing 7%, 6%, 6%, dan 4%.
Soetanto menjelaskan bahwa secara regional, para produsen kakao di kawasan Asia memang memiliki tren yang menurun, setelah mencapai level tertingginya pada 2006. Berbeda, produsen kakao di Afrika dan Amerika Latin terus menunjukkan tren yang positif dalam lima belas tahun terakhir.
Tak ayal, Indonesia sebagai jawara produsen kakao di Asia juga turut mencatatkan tren produksi yang menurun. Menurutnya, hal ini tak terlepas dari berbagai tantangan yang dihadapi kakao nasional.
“Areal dan produksi terus menurun. Tanaman dan petani mayoritas sudah tua, regenerasi dan mekanisasi lambat,” ujarnya.
Kondisi ini juga diakui oleh Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali Dewa Ayu Nyoman Budiasih. Dia mengungkapkan bahwa usia tanaman kakao di Bali mulai menua yang mengakibatkan produktivitas rendah.
“Produktivitas rendah karena usia tanaman tua dan budi daya yang dilakukan belum maksimal untuk pemeliharaan tanaman. Selain itu, pekebun juga sudah tua. Pekebun milenial untuk kakao masih rendah, mereka kebanyakan di hortikultura,” jelasnya dalam kesempatan yang sama.
Padahal, imbuhnya, Bali memiliki areal perkebunan Kakao mencapai 13.398,01 hektare (ha). Dari luasan itu, tanaman yang menghasilkan berada di area sekitar 10.566,87 ha. Sementara tanaman yang rusak dan butuh diremajakan mencapai 2.087,13 ha.
Tak ayal, kondisi ini menempatkan Bali sebagai produsen kecil untuk kakao nasional yang selama ini didominasi oleh Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara yang produksinya lebih dari 100.000 ton. Amat kontras dengan produksi kakao Bali yang hanya 4.868,32 ton.
Tanaman perkebunan kakao Bali sendiri sejatinya telah masuk sebagai salah satu komoditas unggulan Pulau Dewata. Bahkan, Dewa Ayu menyebut bahwa Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Tabanan masih menyimpan potensi untuk pengembangan kakao.
“Dari kedua wilayah ini masih ada potensi 2.417,06 ha lahan yang dapat dioptimalkan,” ujarnya.
Oleh sebab itu, Bali membutuhkan bibit untuk memprioritaskan aksi peremajaan kakao, termasuk untuk pengembangan potensi di kedua wilayah itu. Menurutnya, setiap satu hektare lahan membutuhkan seribu bibit pohon kakao.
“Kebanyakan pekebun kakao di Bali, itu jarak tanamnya tiga kali tiga. Namun, ini hanya untuk perluasan. Kami juga membutuhkan bibit untuk peremajaan,” katanya.
AKSI PEREMAJAAN
Sementara itu, Kepala Divisi Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Adi Sucipto menegaskan komitmennya untuk memberikan dukungan penuh terhadap aksi peremajaan kakao di berbagai daerah. Akan tetapi, untuk aksi awal, pihaknya hanya menargetkan sekitar 5.000 ha lantaran keterbasan ketersediaan bibit.
“Yang kita hadapi sekarang ini, bukan hanya masalah bibit, tapi bagaimana legalitas lahan, kemudian kesediaan pekebun kakao untuk ikut program, karena sifatnya volunter, bukan mandatory,” jelasnya.
Dia menambahkan bahwa hingga saat ini pihaknya belum mendapatkan pengajuan terkait jumlah untuk peremajaan kakao tersebut. Angka 5.000 ha merupakan target awal nasional yang akan dilakukan.
“Kemarin kesepakatan kita, kita akan fokus ke sentra-sentra kakao. Salah satunya Jawa Timur, kemudian Bali, dan Yogyakarta. Sulawesi sudah mengajukan, tetapi kita ingin ada kepastian bahwa lahannya mereka itu clean and clear,” katanya.
Hanya saja, aksi peremajaan kakao tak serta merta bakal mengungkit produksi kakao nasional. Hal ini, imbuhnya, lantaran proses panen sekitar tiga hingga empat tahun setelahnya.
Oleh sebab itu, selain peremajaan kakao, pihaknya juga akan menggenjot intensifikasi lewat pembelian sarana dan prasarana serta pupuk. “Selama ini kan yang dihadapi oleh teman-teman itu harga pupuk yang komoditas ini termasuk non-subsidi, jadi lumayan tinggi.”
