Bondowoso (beritajatim.com) – Air hujan di sejumlah lokasi di Bondowoso terdeteksi mengandung mikroplastik. Temuan ini berasal dari kegiatan riset citizen science yang dilakukan 15 santriwati Pondok Pesantren (PP) Nurussalam, Sumber Kemuning, Kecamatan Tamanan, dalam rangka Program Jawa Timur Young Changemaker Academy (JAYCA) 2025.
“Kami awalnya kaget mengetahui air hujan di Bondowoso tercemar mikroplastik. Setelah itu kami mengamati kondisi lingkungan sekitar pondok dan menemukan sampah plastik dibakar, dibuang sembarangan, dan menumpuk di tepi jalan. Perilaku masyarakat inilah yang menjadi sumber mikroplastik,” ujar Siti Fatimah, pengurus santriwati PP Nurussalam, Selasa (19/11/2025).
Program JAYCA berlangsung dua hari. Pada hari pertama peserta menerima pelatihan pemantauan kualitas air, uji mikroplastik pada air hujan, dan inventarisasi persoalan lingkungan.
Hari kedua mereka merumuskan solusi dan membuat media kampanye publik. Mentor JAYCA 2025, Prigi Arisandi, menyatakan kegiatan ini bertujuan meningkatkan kesadaran Gen Z Jawa Timur mengenai krisis iklim dan mendorong mereka merancang solusi aplikatif di lingkungannya.
Uji laboratorium sederhana dilakukan pada air hujan dari tiga titik: Badean, Koncer, dan Sumber Kemuning. Hasilnya menunjukkan air hujan di Bondowoso telah mengandung serat mikroplastik (fiber) dalam jumlah signifikan.
Tabel hasil uji menunjukkan, per liter air hujan:
– Badean: 52 partikel
– Koncer: 34 partikel
– Sumber Kemuning: 36 partikel
– Air galon isi ulang: 9 partikel
“Di pondok kami menemukan 36 partikel mikroplastik dalam satu liter air hujan. Jenis yang teridentifikasi berupa fiber dengan ukuran di bawah 5 milimeter. Identifikasi dilakukan memakai mikroskop dengan pembesaran 40 hingga 100 kali,” ujar Cindi Yuniantika, anggota tim JAYCA PP Nurussalam.
Tim juga menguji air sungai dan bendungan Kemuning. Hasilnya, air sungai mengandung lebih dari 41 partikel mikroplastik per liter, sementara air sumber memiliki 26 partikel.
Prigi Arisandi menyebut pencemaran seperti ini terjadi secara nasional. “Indonesia menjadi penyumbang sampah plastik terbesar ketiga ke laut, lebih dari 3 juta ton per tahun. Sekitar 56 persen sampah dibakar dan 10 persen dibuang ke sungai. Pada akhirnya sampah ini pecah menjadi mikroplastik dan mencemari udara hingga jatuh kembali melalui air hujan,” katanya.
Sebagai bagian investigasi, santriwati menelusuri sepanjang satu kilometer area sekitar pondok. Mereka menemukan lima sumber utama penyebaran mikroplastik:
1. Pembakaran sampah plastik secara terbuka di hampir setiap rumah.
2. Sampah plastik tercecer di jalan; ditemukan 925 potong sampah plastik di sepanjang 1 km.
3. Sampah plastik yang mengendap dan menyumbat saluran air.
4. Pembuangan sampah liar di lahan kosong.
5. Sampah plastik terapung di Sungai Sumber Kemuning, mulai popok hingga styrofoam.
“Banyak serpihan plastik yang sudah hancur dan terbawa angin maupun air. Ini yang kemudian menjadi mikroplastik,” kata Bidahyatul Fitriani, peserta JAYCA dari SMK Nurussalam.
Temuan tersebut membuat para peserta sepakat untuk memulai perubahan dari diri sendiri. Laila Mufida, siswi SMK Pertanian Nurussalam, menyampaikan enam komitmen aksi:
– Mengurangi dan menolak penggunaan plastik sekali pakai.
– Menggerakkan budaya guna ulang dengan tumbler, rantang, dan tas kain.
– Membuat poster imbauan agar masyarakat tidak membuang sampah ke sungai.
– Mendorong penyediaan tempat sampah yang memadai.
– Mengkampanyekan larangan pembakaran sampah plastik.
– Menggunakan media sosial untuk mengajak masyarakat berperilaku ramah lingkungan.
Para santriwati berharap hasil temuan ini menjadi peringatan dini bagi masyarakat Sumber Kemuning dan Bondowoso secara luas agar menghentikan kebiasaan membakar sampah plastik dan mulai mengurangi penggunaan plastik sekali pakai.
Krisis iklim, bagi mereka, bukan lagi isu global yang jauh, tetapi persoalan nyata yang jatuh bersama setiap tetes hujan di halaman pondok. (awi/ian)
