Bisnis.com, JAKARTA— Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memberikan perhatian utama terhadap isu price fixing di sejumlah industri, sesuai amanat Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat.
Komisioner KPPU Ridho Jusmadi menyampaikan dari UU No.5 Tahun 1999, KPPU memberikan perhatian terutama pada isu price-fixing. Menurutnya, praktik tersebut jamak terjadi di sektor industri yang bersifat oligopolistik, seperti farmasi, minyak dan gas, dan infrastruktur.
Dia menyebutkan pula soal praktik pelanggaran usaha kartel yang seringkali tidak meninggalkan jejak secara tertulis.
“Tapi praktisi hukum memiliki doktrin the devil is on the details. Kita cari detail-detailnya itu, pasti ada selipnya. Itu yang kita eksploitasi dalam pembuktian,” kata Ridho dalam acara Mitigasi Risiko Pelanggaran Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, mengutip keterangan resminya, Jumat (21/11/2025).
Komisioner KPPU Noor Rofiq menyampaikan ihwal filosofi Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat pada pokoknya adalah melindungi proses persaingan itu sendiri, dan bukan melindungi pesaing.
“Jadi kami melihat bagaimana pelaku usaha itu membangun bisnisnya secara wajar, dan tanpa ada pelanggaran,” kata Noor Rofieq.
Menurutnya, KPPU dalam menilai persaingan usaha mempertimbangkan terutama konteks bisnis, tidak hanya dari aspek legal semata. Misalnya saja, KPPU tidak serta merta menilai suatu praktik bisnis melanggar hukum hanya karena harga terlihat sama atau paralel.
“Jangan takut dengan paralelisme karena pasar itu terbuka mengenai informasi harga. Dan ini harus diikuti oleh faktor-faktor lain,” katanya.
Pendekatan KPPU, lanjutnya, selalu melihat konteks bisnis secara praktis, tidak hanya dari aspek legalistik semata.
KPPU mengelompokkan risiko pelanggaran ke dalam tiga aspek utama pada bisnis. Pada aspek produksi, pelanggaran dapat terjadi jika pelaku usaha mengatur volume produksi tidak untuk efisiensi, tetapi dengan sengaja menguasai sumber daya atau mempengaruhi pasar.
Ada pula aspek pemasaran dan harga yang kerap menjadi sorotan seiring isu pricing. Menurut Noor Rofieq, KPPU tidak serta-merta menilai harga tinggi sebagai pelanggaran. Sebab, faktor-faktor seperti Internal Rate of Return (IRR), Return on Investment (ROI) dan biaya untuk industri yang padat modal akan diperhitungkan.
Namun, praktik pelanggaran perpajakan yang berujung pada biaya produksi tidak wajar dapat menjadi pintu masuk bagi dugaan pelanggaran UU No. 5/1999.
Aspek lainnya yakni distribusi atau channeling. Dalam konteks ini, Noor Rofieq mengingatkan pelaku usaha untuk berhati-hati dalam mengganti distributor, serta memastikan tidak ada unsur diskriminasi atau kesengajaan untuk menyingkirkan pihak tertentu. Contoh diskriminasi yang dapat terjadi adalah perbedaan tempo pembayaran.
Direktur Eksekutif Katadata Insight Center, Fakhrido Susilo, menyatakan bahwa persaingan usaha yang sehat merupakan prasyarat fundamental bagi pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.
“Kualitas institusi yang baik, termasuk di dalamnya kualitas persaingan usaha yang baik, merupakan prasyarat intangible dari 8% economic growth yang kita cita-citakan bersama,” ujarnya.
