3 Ketika Kader Gerindra Menolak Budi Arie Nasional

3
                    
                        Ketika Kader Gerindra Menolak Budi Arie
                        Nasional

Ketika Kader Gerindra Menolak Budi Arie
Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Kesetiaan bukan berarti harus menjilat, melainkan juga mencegah beliau dari kesesatan yang justru dilakukan kaum penjilat itu
.” – Leonardus Benyamin Moerdani
LEONARDUS
Benjamin (LB) Moerdani adalah Panglima ABRI dari tahun 1983 hingga 1988 dan pernah menjabat pula sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan periode 1988 – 1993.
Berkat keberaniannya di medan laga seperti penumpasan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) serta Operasi Trikora di Irian Barat, Presiden Soekarno pernah menganugerahi Bintang Sakti untuk LB Moerdani.
Peringatan yang disampaikan LB Moerdani di atas disampaikan kepada pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan dari Presiden Soeharto ketika itu.
Moerdani tidak ingin Soeharto salah langkah, sama sebangun dengan para penjilat kekuasaan yang “pura-pura” setia, tetapi “menusuk” dari belakang.
Moerdani adalah sosok yang begitu konsisten, walau akhirnya tersingkirkan oleh kekuasaan yang dibelanya dengan segenap jiwa raganya.
Walau saat ini kita begitu sulit menemukan figur-figur seperti Moerdani, tapi sejumlah kader
Gerindra
di berbagai daerah mulai berani mengejahwantahkan sikap Moerdani terhadap rencana Ketua Umum
Projo
,
Budi Arie
Setiadi yang ingin bergabung dengan Gerindra.
Budi Arie mencari “rumah politik” baru dengan berencana bergabung ke Partai Gerindra. Bahkan keinginannya itu dia sampaikan di forum internal organisasinya, yakni di Munas ke III ProJo di Jakarta pada Sabtu, 1 November 2025 lalu.
Mantan Menteri Komunikasi dan Informatika di era Jokowi itu merasa Presiden Prabowo mempersilahkan dirinya bergabung ke Gerindra.
Padahal, konteks pernyataan Prabowo yang juga Ketua Umum Partai Gerindra saat menghadiri Kongres PSI di Solo, 20 Juli 2025 lalu, adalah sekadar bertanya ke Budi Arie mengenai langkah lanjutan kariernya di politik.
Jika “ke-ge-er-an” politik tersebut dianggap serius oleh Budi Arie, tentu dirinya kurang paham dengan basa-basi dalam pergaulan.
Basa basi adalah adat sopan santun, tata krama dalam pergaulan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indoensia (KKBI), ungkapan yang digunakan hanya untuk sopan santun dan tidak untuk menyampaikan informasi.
Jika melihat sepak terjang Budi Arie yang dianggap berbagai kalangan sebagai sosok yang oportunis, tentu penolakan sejumlah kader Gerindra adalah wajar.
Jangan lupakan sejarah, ketika Projo dideklarasikan pada 2013, maksud pendiriannya sudah “cetho weleh-weleh”. Projo dididirikan untuk mendukung Joko Widodo dalam kontestasi Pemilihan Presiden 2014.
Di berbagai baliho, spanduk, dan atribut kampanye, kata “Projo” selalu berdampingan dengan foto Jokowi. Bahkan, diabadikan sebagai lambang resmi organisasi.
Dalam konteks komunikasi politik, asosiasi ini bukan kebetulan, melainkan strategi simbolik yang efektif (
Rmoljatim.id
, 4 November 2025).
Menjadi “lucu” ketika Jokowi sudah turun dari panggung politik nasional dan semakin menguatnya posisi politik Prabowo Subianto, tiba-tiba Budi Arie merevisi jati diri Projo.
Projo bukan lagi akronim dari “Pro Jokowi”, melainkan menurut Budi Arie, berasal dari bahasa Sansekerta dan Kawi yang berarti “rakyat” atau “warga negara”.
Pernyataan ini tentu sekilas terdengar seperti klarifikasi linguistik yang netral. Namun, jika ditarik ke dalam konteks politik, ia menyerupai upaya
rebranding
ideologis yang kaya makna. Bahkan terkesan ambigu, seperti ingin “mencari selamat”
Penolakan kader Partai Gerindra di sejumlah daerah seperti dari Gresik, Blitar, Tulungagung, Sidoarjo dan Pati terhadap niatan Budi Arie untuk bergabung dengan Gerindra adalah realitas politik terkiwari.
Selama ini, urusan “pindah-pindah” partai menjadi kewenangan elite partai, sementara kader di daerah hanya “manut” dan pasrah dengan kebijakan dewan pimpinan pusat partai. Praktik ini berlaku umum di semua partai politik.
Ketika PDI Perjuangan (dulu PDI) berjaya jelang kejatuhan Orde Baru, sejumlah kader partai lain eksodus ke partai “banteng”.
Begitu Demokrat menang di Pemilihah Presiden 2004, maka partai berlogo “mercy” pun sibuk menerima “naturalisasi” kader dari partai-partai lain.
Pun demikian dengan kemenangan Jokowi di Pemilihah Presiden 2014, maka partai-partai pengusung Jokowi ramai dijadikan sasaran perpindahan kader partai. Kini fenomena “kutu loncat” terjadi di Partai Gerindra.
Fenomena kutu loncat dalam partai politik adalah perilaku politikus yang sering berpindah-pindah partai tanpa alasan ideologis yang kuat. Sering kali didorong kepentingan pribadi seperti perebutan kekuasaan atau keuntungan.
Dalam kasus niatan Budi Arie “loncat” ke Gerindra, tentu publik dengan mudah membacanya sebagai mencari “perlindungan” politik mengingat kasus situs judi online semasa dirinya menjabat Menkoinfo.
Fenomena kutu loncat bisa terjadi karena partai politik tidak memiliki ideologi yang kuat, sehingga politikus lebih mudah “loncat” saat terjadi konflik internal atau mencari partai lain yang menawarkan peluang lebih besar.
Kurangnya ikatan ideologis yang kuat membuat politikus tidak memiliki kesabaran untuk mengelola konflik internal dan lebih memilih “kabur”.
Kasus Ruhut Sitompul yang “hatrick” pindah partai politik (dari Golkar ke Demokrat lalu ke PDI Perjuangan) adalah gambaran betapa partai sekelas PDI Perjuangan pun rentan dalam fondasi partai yang kokoh.
Begitu pula Priyo Budi Santoso. Setelah lama menjadi kader Partai Golkar, Priyo yang sempat “mampir” di Partai Berkarya kini mukim di Partai Amanat Nasional.
Ferdinand Hutahean pun kini menjadi kader banteng setelah sempat bercokol di Demokrat dan Gerindra.
Fenomena kutu loncat dalam jangka panjang tentu akan menggerus kepercayaan publik terhadap partai politik. Publik menjadi resisten dan apatis terhadap partai dan politikus “bunglon”.
Politikus yang sering berpindah dapat melemahkan partai dan menciptakan ketidakstabilan politik.
Partai politik memberikan kesempatan kepada politisi “kutu loncat” untuk bergabung dengan harapan bisa mendongkrak suara partai karena dana atau tuah kepopuleran.
Ketika “hijrah” dari Golkar ke Partai Berkarya, Priyo semula diandalkan untuk menjalankan mesin partai karena dianggap berpengalaman di partai sebelumnya.
Di Pemilu 2019, Berkarya meraup 2.929.495 suara atau setara 2,09 persen. Sementara di Pemilu 2024, Berkarya malah tidak lolos sebagai partai peserta Pemilu.
Sikap keterbukaan partai yang asal menerima kader “bunglon” merupakan sesuatu yang tidak elok dalam etika politik.
Motivasi politisi seperti ini dipastikan hanya untuk kepentingan pribadi yang jelas-jelas mengabaikan prinsip etika dan norma dalam berpolitik.
Partai yang memiliki ideologi yang kuat dan jelas sebenarnya dapat mencegah munculnya politisi “bunglon” dan tidak mudah memberikan privilege kepada politisi lain tanpa
screening
yang ketat demi menjaga kemurnian ideologi partai.
Partai harus menghargai kader-kader yang loyal dan berdedikasi terhadap partai selama ini.
Apakah Gerindra pada akhirnya akan memilih sikap yang sama dengan partai-partai lain yang “asal” menerima anggota tanpa pertimbangan?
Apakah suara-suara penolakan sejumlah kader Gerindra di berbagai daerah menjadi pertimbangan elite Gerindra?
Ketua DPP Gerindra, Prasetyo Hadi menyebut partainya belum final menerima atau tidak menerima permohonan bergabung dari Budi Arie.
Sikap arus bawah tentu menjadi pertimbangan DPP Gerindra.
“Kekuatan aksi nyata sekecil apapun lebih berarti daripada seribu kata” – Mendiang Prof Suhardi (salah satu pendiri Partai Gerindra).
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.