Nasib Petugas MBG: Jam Kerja Semrawut, Kontrak Tak Jelas, Gaji Sering Molor

Nasib Petugas MBG: Jam Kerja Semrawut, Kontrak Tak Jelas, Gaji Sering Molor

Setelah itu, seluruh distribusi makanan harus ia kawal. Pengawasan ompreng yang kembali pun masih menjadi tanggung jawabnya. Hari kerjanya biasanya baru berakhir sekitar pukul 22.00 WIB.

“Sekarang bayangkan kami kerja enggak bisa napas, enggak bisa bergerak ke mana-mana,” ucapnya.

Dari total jam kerja itu, Dani hanya bisa mencuri waktu tidur beberapa menit untuk istirahat.

Dikatakan Dani, hingga bulan ketiga bekerja, gaji belum juga diterima. Sementara kebutuhan hidupnya terus berjalan.

“Intinya kami sudah mendedikasikan hidup kami untuk MBG, tapi masak gaji kami ditunda-tunda,” ujarnya.

“Walaupun saya merasa kerja ini sebenarnya enggak manusiawi loh… tapi bagaimana lagi, saya sudah mengabdikan diri untuk negara,” tambahnya.

Kisah yang hampir sama juga dialami Risky, pekerja SPPI Batch 3 di Aceh. Ia belum menerima gaji yang seharusnya dibayarkan awal November.

“Sedangkan kami sudah melaksanakan kewajiban di dapur,” keluhnya.

Blak-blakan, Risky mendapat Surat Pemberitahuan Kontrak (SPK), tetapi nasib soal upah tetap sama, tidak jelas kapan cair. Untuk bertahan hidup, ia harus berutang ke orang tua dan teman.

“Ya, pada intinya keselnya kayak kami nih… sudah menunaikan kewajiban, sudah mematuhi aturan. Tapi kenapa ketika ingin mengambil hak, tidak ada kejelasan,” tuturnya.

Pakar hukum perburuhan UGM, Nabiyla Risfa Izzati, menilai masalah ini menunjukkan ketidaksiapan program MBG, terutama dari sisi ketenagakerjaan.

Menurutnya, tanpa kontrak, kondisi pekerja bisa dikategorikan seperti pekerja informal yang mudah dieksploitasi.