Bisnis.com, JAKARTA — Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyoroti risiko serius dari rencana pengambilalihan lahan sawit negara, terutama terkait legalitas, produktivitas, hingga potensi konflik dengan masyarakat setempat.
Dewan Pakar Hukum Gapki Sadino mengatakan mayoritas kebun sawit yang masuk skema pengambilalihan sudah memiliki penggarap dan pemilik sah. Menurutnya, pengambilalihan lahan yang sudah dikelola oleh masyarakat berisiko memicu benturan dan konflik agraria.
Sadino menegaskan lahan yang sudah memiliki hak guna usaha (HGU) atau status legal lainnya seharusnya diakui secara hukum.
“Kalau Anda mau beli rumah nih, apa buktinya? Sertifikat, SHM rumah. Ternyata SHM-mu katanya tidak sah. Padahal yang menyatakan tidak sah itu, dia tidak ada keputusan pengadilan, dia tidak ada proses hukum. Terus hanya dinyatakan tidak sah. Kalau yang sudah ditempatin? Apalagi misalnya sudah dibayar, kita malah kena masalah,” kata Sadino saat ditemui di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (17/11/2025).
Dia menjelaskan urutan izin yang seharusnya ditempuh untuk membuka lahan sawit, yakni terdiri dari kajian studi kelayakan (FS), izin lokasi dari pemerintah daerah, izin lingkungan (Amdal), hingga mendapatkan hak atas tanah seperti HGU atau IPPKH jika kawasan hutan.
Sadino menekankan banyak kasus ketidakjelasan, terutama lahan yang baru ditetapkan sebagai kawasan hutan pada 1982 di Sumatera Utara, padahal masyarakat sudah mengelola lahan jauh sebelumnya.
Seiring proses pengambilalihan, pemerintah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan (PKH) untuk menata kembali lahan sawit. Namun, Sadino menilai Satgas berpotensi menghadapi masalah besar di lapangan karena lahan yang diambil alih sering tumpang tindih dengan kepemilikan masyarakat atau perusahaan.
Lebih lanjut, Gapki juga menyoroti produktivitas kebun sawit yang tidak hanya tergantung pada panen saat ini, melainkan juga perawatan, pemupukan, dan pemeliharaan jangka panjang.
Di samping itu, Sadino juga menyoroti potensi benturan kepentingan dan kasus nyata di lapangan. Adapun, daerah rawan konflik antara pengambilalihan lahan dan masyarakat antara lain Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, hingga kemungkinan Sumatera Utara.
