Bisnis.com, JAKARTA — Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah membentuk kelompok kerja untuk merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal anggota Polri duduk di jabatan sipil.
Kadiv Humas Polri, Irjen Sandi Nugroho mengatakan Kapolri Sigit telah menggelar rapat dengan pejabat utama untuk membahas putusan itu. Hasilnya, Sigit telah memutuskan hntuk membuat tim pokja untuk menindaklanjuti putusan MK.
“Bapak Kapolri berdasarkan hasil putusan rapat tersebut bahwa Polri akan membentuk tim Pokja yang bisa membuat kajian cepat terkait dengan putusan MK tersebut,” ujar Sandi di Mabes Polri, Senin (17/11/2025).
Pokja itu, kata Sandi, bakal berkoordinasi dengan pihak terkait seperti Kemenpan RB, Badan Kepegawaian Nasional (BKN), Kemenkum, Kemenkeu hingga Mahkamah Konstitusi (MK).
Pada intinya, tim Pokja akan terlebih dahulu untuk menyamakan persepsi terkait putusan MK dengan sejumlah pihak itu agar tidak multitafsir.
“Sehingga tidak menjadi multitafsir harapannya ke depannya. Karena hal ini juga menyangkut adanya beberapa hal yang berkaitan dengan kementerian lembaga lainnya,” imbuhnya.
Adapun, Sandi menekankan bahwa kepolisian pasti akan menghormati apapun keputusan MK sesuai dengan amanat undang-undang yang ada.
“Yang pasti, bahwa Kepolisian sangat mengapresiasi dan menghormati putusan dari MK dan akan menindaklanjuti keputusan MK tersebut,” pungkasnya.
Sekadar informasi, MK telah memutuskan untuk menghapus frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Hal itu tertuang dalam Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025. Putusan itu dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, Kamis (13/11/2025). Adapun, putusan ini kemudian menimbulkan persepsi soal anggota Polri tidak bisa menduduki jabatan sipil.
Dalam pertimbangannya, hakim konstitusi menjelaskan bahwa keberadaan frasa tersebut justru menimbulkan ketidakjelasan norma hukum dan mengaburkan ketentuan utama dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri.
Akibatnya, terjadi kerancuan dalam tata kelola jabatan publik serta potensi pelanggaran terhadap prinsip persamaan di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
