Pasal 105, 112A, 132A
Semua pihak bisa digeledah, disita, disadap, diblokir menurut subjektivitas aparat tanpa izin hakim. Artinya, upaya paksa penggeledahan, penyitaan, pemblokiran bisa dilakukan tanpa izin pengadilan dengan alasan subjektif aparat.
Pasal 74a
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP mencatat, semua pihak bisa kena peras dan dipaksa berdamai dengan dalih restorative justice (RJ) bahkan di ‘ruang gelap’ penyelidikan.
Dalam Pasal 74a RKUHAP dijelaskan bahwa kesepakatan damai antara pelaku dan korban dapat dilaksanakan pada tahapan belum terdapat tindak pidana (penyelidikan). Hal ini sangat dipertanyakan, bagaimana mungkin belum ada tindak pidana namun sudah ada subjek pelaku dan korban?
Selain itu hasil kesepakatan damai yang ditetapkan oleh pengadilan hanya surat penghentian penyidikan, sedangkan penghentian penyelidikan sama sekali tidak dilaporkan ke otoritas manapun. Karenanya, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menilai hal itu menjadi ruang gelap di penyelidikan.
Pasal 7 dan Pasal 8
Semua PPNS dan Penyidik Khusus di letakan di bawah koordinasi Polisi, menjadikan Polri lembaga superpower dengan kontrol sangat besar. Padahal selama ini masih memiliki beban tunggakan penyelesaian perkara setiap tahunnya dan belum optimal dalam menindaklanjuti laporan masyarakat untuk mengusut tindak pidana.
Pasal 137A
Semua penyandang disabilitas bisa terjerat pidana tanpa perlindungan. Sebab, Pasal-pasal dalam RKUHAP masih bersifat ableistik karena tidak mewajibkan penyediaan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum, sehingga proses hukum berpotensi berjalan secara tidak setara dan diskriminatif.
Pasal 137A juga membuka peluang penghukuman tanpa batas waktu terhadap penyandang disabilitas mental dan intelektual, dan secara implisit menempatkan keduanya sebagai pihak tanpa kapasitas hukum.
Pasal tersebut berpotensi melegitimasi perampasan kemerdekaan dan pengurungan sewenang-wenang (arbitrary detention), karena penjatuhan sanksi tidak diposisikan sebagai putusan pidana sehingga tidak memiliki standar jelas terkait batas waktu, mekanisme pengawasan, maupun penghentian tindakan. Situasi tersebut membuka ruang praktik koersif dengan dalih penegakan hukum.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/1689462/original/060408700_1503553006-dpr3.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)