Kala Gen Z Pontang-Panting Cari Kerja saat Minim Lowongan

Kala Gen Z Pontang-Panting Cari Kerja saat Minim Lowongan

Bbisnis.com, CIREBON- Langit Plumbon di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat pada Selasa (11/11/2025) pagi belum sepenuhnya terang. Di halaman balai latihan kerja (BLK) milik pemerintah daerah, deretan wajah muda menatap penuh harap ke arah pintu masuk gedung berwarna krem kusam itu. 

Ada yang datang berkelompok, ada pula yang sendirian, menenteng map biru berisi fotokopi ijazah dan daftar riwayat hidup. Mereka berdiri berdesakan sejak pukul enam pagi, jauh sebelum panitia membuka pendaftaran job fair yang digelar Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Kabupaten Cirebon.

“Katanya ada lowongan di pabrik baru,” ujar Rizal (25), sarjana ekonomi lulusan 2021 yang sejak wisuda belum juga mendapatkan pekerjaan tetap kepada Bisnis.

Dari pantauan Bisnis di lokasi, antrean calon pelamar mengular hingga ke luar pagar BLK. Sebagian duduk di trotoar, sebagian lagi berteduh di bawah spanduk bertuliskan “Job Fair Hybrid Inklusi Disnaker 2025, Satu Langkah Menentukan Karirmu”. 

Ironis, karena bagi sebagian besar dari mereka, kegiatan seperti ini lebih sering menjadi ajang harapan yang cepat pula dipatahkan.

Di halaman BLK yang tidak terlalu luas, puluhan stan perusahaan berdiri berjejer. Mulai dari sektor ritel, pabrik garmen, lembaga keuangan mikro, hingga penyedia lapangan kerja luar negeri.

Namun, sebagian besar lowongan yang dibuka hanya untuk posisi operator produksi, sales freelance, dan marketing lapangan. Upahnya? Sekitar Rp1,8 hingga Rp2,2 juta per bulan, di bawah upah minimum Kabupaten Cirebon tahun 2025 yang mencapai Rp2,3 juta.

“Yang penting kerja dulu, urusan gaji belakangan. Sudah tiga kali ia datang ke job fair. Saya sudah bosan nganggur. Orang tua di rumah juga bingung, tiap hari nanya kapan kerja?” kata Dini (23), lulusan SMK administrasi perkantoran.

Dini sempat bekerja sebagai kasir di minimarket, tapi hanya bertahan tiga bulan. Kontraknya tidak diperpanjang lantaran perusahaan tengah efisiensi. 

Fenomena seperti Dini dan Rizal bukan kasus tunggal. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Cirebon 2025 mencatat, tingkat pengangguran terbuka (TPT) di kalangan usia muda 18–30 tahun mencapai 84.490, sementara jumlah angkatan kerja mencapai 1.261.780.

Sebagian besar dari mereka adalah lulusan SMA dan SMK, tetapi tidak sedikit pula lulusan diploma dan sarjana yang masih menganggur. Mereka disebut “generasi terjebak”—terdidik, tapi tidak terserap.

“Masalah utama bukan hanya kurangnya lapangan kerja, tapi juga ketidaksesuaian antara keterampilan anak muda dan kebutuhan industri,” ujar Kepala Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Cirebon, Novi Hendrianto saat ditemui di sela acara.

Novi mengakui agenda job fair seperti ini hanya bisa menjangkau sebagian kecil pencari kerja.

“Kami menargetkan 2.189 pelamar, tapi yang datang lebih dari 8.000. Banyak industri di sini masih padat karya dengan skill dasar, sementara anak muda sekarang maunya kerja di sektor kreatif, digital, atau startup. Tapi sektor itu belum kuat di Cirebon,” kata Novi.

1762843323_f4e7315d-8f91-4a36-8583-6bff0ec0ea97.

 
Pintu Ekonomi Setengah Terbuka

Kabupaten Cirebon sering disebut sebagai kawasan penyangga pertumbuhan ekonomi Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan (Ciayumajakuning).

Namun, geliat industrialisasi tidak secepat yang dijanjikan. Kawasan industri Cirebon Timur yang sempat digadang-gadang menjadi pusat pabrik baru, hingga kini masih setengah hidup. Sebagian lahan kosong, sebagian lagi disewakan untuk gudang logistik.

“Pemerintah sering bicara soal investasi masuk, tapi yang kami lihat justru pabrik tutup atau pindah ke daerah lain,” kata Yayan (29), mantan operator mesin di pabrik tekstil yang gulung tikar dua tahun lalu.

Kini ia bekerja serabutan, membantu ayahnya memperbaiki motor di bengkel kecil di rumah. Yayan datang ke job fair dengan harapan bisa kembali ke dunia industri.

“Saya sudah biasa kerja keras. Tapi makin ke sini, lowongan makin sedikit, saingan makin banyak. Kadang merasa nggak ada masa depan di sini,” katanya lirih.

Bagi banyak anak muda Cirebon, kerja apa pun kini dianggap keberuntungan. Bahkan pekerjaan tanpa kontrak, tanpa BPJS, dan tanpa jaminan masa depan pun tetap diburu.

Setiap pagi, di sepanjang Jalan Tuparev hingga Kawasa Sumber, tampak ratusan anak muda berdiri di pinggir jalan menunggu panggilan kerja harian dari toko, kafe, atau proyek bangunan. 

Upahnya antara Rp70.000 hingga Rp100.000 per hari. Tidak ada kepastian apakah besok mereka akan dipanggil lagi.

Sementara itu, banyak anak muda perempuan memilih menjadi kasir, penjaga warung kopi, atau admin online shop dengan gaji di bawah UMR. “Sekarang semua serba kontrak pendek. Kalau sebulan performanya dianggap kurang, langsung diganti orang baru,” ujar Dini.

Ironisnya, di atas penderitaan generasi muda ini, pembangunan ekonomi Cirebon terus dipromosikan dalam berbagai forum resmi. Pemerintah Kabupaten Cirebon menampilkan data optimistis: nilai investasi naik, proyek pariwisata tumbuh, dan infrastruktur diperbaiki. 

Namun, di lapangan, kesejahteraan anak muda seperti berjalan di tempat.

Bupati Cirebon Imron Rosyadi mengatakan jika kondisi ini terus berlanjut, Kabupaten Cirebon berpotensi kehilangan bonus demografi. 

“Banyak anak muda akhirnya memilih merantau ke Bekasi, Karawang, atau Jakarta. Mereka pergi karena tidak merasa punya masa depan di tanah sendiri,” tutur Imron.

Meskipun begitu, Pemerintah Kabupaten Cirebon juga mulai mengarahkan program pelatihan BLK untuk sektor kreatif digital, bukan hanya industri manufaktur. 

Saat ini, Disnaker Kabupaten Cirebon sedang mengubah murikulum pelatihan agar sesuai dengan tren ekonomi baru. “Anak muda Cirebon harus disiapkan bukan hanya jadi pencari kerja, tapi juga pencipta kerja,” lanjut Novi.

Menjelang siang, satu per satu peserta job fair meninggalkan lokasi. Spanduk besar bertuliskan “Job Fair Hybrid Inklusi Disnaker 2025, Satu Langkah Menentukan Karirmu” mulai dilepas oleh panitia. 

Di sudut aula BLK, beberapa pencari masih duduk memegang map birunya.

“Saya titip lamaran di tiga stan.“Mudah-mudahan ada yang telepon. Kalau nggak, ya balik jualan online lagi,” kata Dini.