Nasib KY Setelah Dua Dekade dengan Kewenangan yang Semakin Minim
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Dua dekade lalu, lahir sebuah lembaga sebagai kehendak politik yang dituangkan dalam amendemen Undang-Undang Dasar 1945.
Lembaga ini termasuk dalam cita-cita
reformasi
sebagai orientasi
checks and balances
dalam sistem kekuatan kehakiman.
Lembaga itu dinamakan
Komisi Yudisial
.
Dalam buku Risalah KY yang diterbitkan oleh Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia tahun 2013, KY digambarkan sebagai wujud pemikiran kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak bisa dibiarkan tanpa kontrol sebagai wujud akuntabilitas.
Independensi dan akuntabilitas menjadi dua sisi mata uang.
Dalam konteks kebebasan
hakim
, harus ada perimbangan dengan pasangannya, yakni akuntabilitas.
KY berada dalam latar belakang tersebut.
Namun, setelah 20 tahun berdiri, apakah makna tersebut telah bergeser?
Di mana peran KY dan bagaimana lembaga yang prematur ini bertahan dari gempuran dinamika politik di era reformasi?
Ketua Komisi Yudisial RI, Amzulian Rifai, mengatakan bahwa refleksi dua dekade menjaga integritas hakim penuh dengan tantangan, salah satu tantangannya adalah
kepercayaan publik
.
“Salah satu kekuatan negara-negara maju, di Australia misalnya, itu adalah
trust
publik. Itu bisa direfleksikan, antara lain, kalau dunia peradilan, adalah berapa banyak suatu kasus itu misalnya yang dikasasikan, berapa banyak tunggakan perkara,” kata Amzulian dalam acara Sinergitas KY dan Media Massa, di Bandung, Jawa Barat, Jumat (14/11/2025) malam.
Dia memberikan contoh bahwa Australia telah sukses menggelar perkara sampai hampir nol.
Pada survei pertengahan tahun 2025, yang mempertanyakan kepercayaan publik kepada lembaga-lembaga negara, jika kita perhatikan, lembaga negara Mahkamah Agung berada di urutan kelima, jika saya tidak salah, di bawah lembaga TNI, Presiden, dan antara lain, Kejaksaan Agung serta KPK.
Hal ini cukup miris, karena Indonesia digembar-gemborkan sebagai negara hukum.
Seharusnya, kata Amzulian, Mahkamah Agung berada di posisi pertama.
“Tapi faktanya tidak demikian,” ucapnya.
Di sini KY mengambil peran untuk mengembalikan kepercayaan publik kepada lembaga peradilan secara keseluruhan.
KY memiliki tugas mengawasi perilaku hakim, menyeleksi calon hakim agung, hingga memberikan rekomendasi jika terbukti ada hakim yang melanggar etik.
Amzulian pun mengakui lembaga yang ia pimpin masih banyak kekurangan, terutama di mata publik.
“Saya cukup banyak, bukan hanya membaca media, tetapi juga berkeliling di banyak tempat di perguruan tinggi, itu umumnya mereka masih agak kecewa dengan eksistensi Komisi Yudisial. Walaupun sebenarnya kekecewaan itu hampir kepada seluruh lembaga negara,” tutur dia.
Kendati demikian, Amzulian mengungkapkan ada banyak tugas yang KY kerjakan untuk memperbaiki wajah penegakan peradilan di Indonesia selama dua dekade berdirinya lembaga tersebut.
Misalnya, hampir semua laporan masyarakat ditindaklanjuti oleh KY.
Setiap minggu diadakan sidang pleno untuk memutuskan satu laporan masyarakat.
Memang, sebagian besar laporan masyarakat harus berakhir tanpa ditindaklanjuti dengan alasan bukti yang lemah, teknis yudisial, dan bukan
kewenangan KY
, tetapi ada beberapa juga yang berlanjut.
“Salah satunya memandang hakim itu tidak adil karena berbicara kepada salah satu pihak. Itu lebih keras, sedangkan kepada pihak lain itu lemah-lembut. Dinilainya itu memihak salah satu pihak. Bagaimana kami menindaklanjuti?” imbuh dia.
Selain tindak lanjut pemeriksaan etik hakim dari laporan masyarakat dan pemberitaan media massa, KY juga mengerjakan mandatnya sebagai lembaga yang menyeleksi calon hakim agung secara ketat.
Amzulian menjamin, langkah seleksi ini bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Meskipun konsekuensinya, hasil seleksi mereka kadang seluruhnya ditolak saat fit and proper test di DPR-RI.
“Jadi itulah tugas-tugas konstitusional kami, walaupun tentu saja tidak akan pernah puas masyarakat dengan apa yang kami lakukan. Dan ternyata, masyarakat ada yang tidak tahu apa yang dilakukan oleh KY,” ujar Amzulian.
Meski terkesan tak bertaji saat ini, KY sesungguhnya pernah sakti saat awal pendiriannya, bisa memberikan pengawasan tak hanya untuk hakim tingkat rendah, tetapi juga sampai ke level Hakim Konstitusi.
Mereka juga punya kewenangan menjadi panitia seleksi untuk calon hakim tingkat pertama, seperti hakim pengadilan negeri, hakim pengadilan agama, hingga hakim pengadilan tata usaha negara.
KY juga pernah memiliki kewenangan untuk memiliki perwakilan pada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
Namun, kewenangan itu seiring waktu dipreteli lewat putusan MK.
Kewenangan yang pertama dicabut adalah pengawasan terhadap hakim MK dan hakim agung.
Pengkebirian ini dilakukan lewat putusan MK nomor 005/PUU-IV/2006 yang diucapkan pada 16 Agustus 2006 oleh Jimly Asshiddiqie selaku ketua MK pada saat itu.
Putusan itu menyebut, hakim MK tidak termasuk dalam pengertian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh KY, sedangkan pengawasan hakim agung dikembalikan kembali kepada Mahkamah Agung.
Kemudian, dalam putusan I/PUU-XII/2014, MK kembali mengkebiri pengawasan KY.
Putusan ini menyebutkan KY tidak lagi bisa menempatkan orang sebagai organ pelengkap dalam Majelis Kehormatan MK (MKMK).
Terakhir, pada putusan 43/PUU-XIII/2025, MK mencabut kewenangan KY terkait seleksi calon hakim tingkat pertama.
MK mendalilkan, KY tak memiliki mandat tersebut dalam UUD 1945 dan sistem peradilan satu atap adalah kewenangan dari Mahkamah Agung.
Namun, setelah dua dekade KY berdiri, wajah peradilan di Indonesia tak sepenuhnya mendapat kepercayaan publik.
Oleh sebab itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Susi Dwi Harijanti, menilai KY harus memiliki peran yang lebih besar.
KY tak boleh lagi hanya diberikan wewenang yang prematur, mengawasi dan memberikan rekomendasi sanksi, atau sekadar jadi pansel calon hakim agung.
Susi kemudian mengutip ucapan dari Presiden Latvia, Egils Levits, dalam acara 10 tahun Judicial Council di negara tersebut.
Egils menyebut KY Latvia harus memainkan peran lebih besar dan memberikan fokus pemecahan masalah yang tidak bisa diselesaikan oleh siapapun selain lembaga peradilan itu sendiri.
Dengan cara itu, KY Latvia bisa menjadi instrumen kepercayaan publik untuk melihat kembali lembaga peradilan yang bersih dan bisa dipercaya.
”
It does also become a trust instrument
, jadi KY itu akan menjadi instrumen kepercayaan,” imbuh dia.
Susi mengatakan, harapan Presiden Latvia ini juga senada dengan kepercayaan mayoritas masyarakat di Indonesia.
Sebab itu, DPR juga harus memikirkan bagaimana KY bisa lagi menjadi sakti dan bertaji, salah satu caranya dengan merevisi undang-undang KY.
Saat ini, kata Susi, ada proses revisi UU Jabatan Hakim yang menjadi prioritas pembahasan DPR.
Menurut dia, sudah selayaknya pembahasan terkait UU tersebut juga berlangsung secara paralel dengan UU KY.
“Harusnya pembahasannya itu adalah paralel, karena pasti itu ada kaitan antara Jabatan Hakim dan KY, termasuk juga penegakan kehormatan dan integritas hakim,” kata Susi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Nasib KY Setelah Dua Dekade dengan Kewenangan yang Semakin Minim
/data/photo/2023/01/19/63c8ee5f1f55f.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)