RI Setop Impor Garam 2027, Industri Chlor Alkali Masih Butuh 3 Juta Ton

RI Setop Impor Garam 2027, Industri Chlor Alkali Masih Butuh 3 Juta Ton

Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Industri Olefin Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) meminta pemerintah untuk memberikan relaksasi impor garam industri sebagai bahan baku dari operasional pabrik kimia chlor alkali. 

Sekjen Inaplas Fajar Budiyono mengatakan pihaknya mendukung swasembada garam nasional, namun untuk pemenuhan garam industri dengan kualitas, volume dan harga harus tetap dapat terpenuhi. 

“Sekarang baru ada dua, yang besar Asahimas dan Sulfindo. Next, tahun depan Chandra Asri juga akan membutuhkan garam juga untuk industri chlor alkali-nya mereka,” kata Fajar kepada Bisnis, Sabtu (15/11/2025). 

Untuk dua industri chlor alkali tersebut, Fajar menerangkan kebutuhan garam industri mencapai 2 juga ton. Pada 2027-2028 diproyeksi akan ada tambahan 1 juta untuk Chandra Asri yang akan membangun pabrik baru CAP. 

Adapun, pabrik yang dimaksud merupakan pabrik kimia Chlor Alkali-Ethylene Dichloride (CA-EDC) yang akan dibangun PT Chandra Asri Pacific Tbk. (TPIA) dan ditargetkan mulai produksi pada kuartal I/2027. 

Pabrik CA-EDC tersebut merupakan bagian kompleks petrokimia terintegrasi kedua miliki Chandra Asri yang dikembangkan oleh anak usahanya yakni PT Chandra Asri Alkali (CAA).  

Fasilitas manufaktur ini juga telah resmi menyandang status proyek strategis nasional (PSN) yang didukung pemerintah. Hal ini tertuang dalam RPJMN 2025-2029 dalam Perpres No. 12/2025.  

Total kapasitas produksi dari pabrik CA-EDC ini yaitu soda kaustik berbentuk padat sebanyak 400.000 ton per tahun atau berupa likuid/cairan sebesar 827.000 ton per tahun. Proyeksi penyelamatan devisa dari berkurangnya impor produk ini senilai Rp4,9 triliun per tahun. 

Namun, tantangan bahan baku mengadang seiring dengan rencana pemerintah untuk menyetop impor garam pada 2027 guna mendukung swasembada garam nasional. 

“Sementara, garam industri ini kan belum bisa disuplai oleh lokal. Jadi lokal baru bisa disuplai untuk garam konsumsi,” tuturnya. 

Peraturan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tersebut menerapkan kebijakan Domestik Market Obligation (DMO) untuk garam industri pada 2027. Dalam hal ini, pengusaha petrokimia mendorong relaksasi impor.  

“Kita mau mendukung swasembada garam, tapi selama suasana badan ini belum bisa mencukupi yang 3 juta tadi, mohon diberikan apa itu relaksasi, karena 3 juta ton ini cukup besar,” tegasnya. 

Sementara itu, saat ini Fajar melihat kemampuan pengembangan industri garam industri hanya dapat dilakukan optimal di Indonesia Timur. Hal ini didasarkan pada potensi dari sisi kualitas, volume hingga harga. 

“Dari sisi quality yang 99,8% (NaCl) ke atas, kemudian dari sisi volume, volume itu kalau 3 juta ton, paling tidak kalau kita 1 hektar cuma 100 ton, berarti kan butuh lahan 30.000 hektar, itu gak kecil,” jelasnya. 

Indonesia Timur juga dinilai lokasi yang tepat karena produksi garam industri menggunakan air laut yang tinggi dan cuaca yang paling tidak 10 bulan musim kering. Namun, dia tak memungkiri kendala masalah lahan adat di wilayah tersebut. 

Keterbatasan garam industri akan berimbas pada produksi chlor alkali yang menjadi bahan baku berbagai macam industri, termasuk kaustik soda yang digunakan pada industri alumina, nikel, kertas, tekstil dan lainnya.