Kejar Tayang Pengesahan RUU KUHAP

Kejar Tayang Pengesahan RUU KUHAP

Jakarta, Beritasatu.com – Komisi III DPR dan pemerintah sudah rampung membahas Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Dalam rapat, Kamis (13/11/2025), disepakati RUU tersebut dibawa untuk disahkan dalam sidang paripurna pada pekan depan. Namun, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP mengingatkan RUU ini masih memuat sejumlah pasal bermasalah. Presiden Prabowo Subianto diminta segera menarik kembali drafnya.

Pembahasan RUU KUHAP sudah dimulai sejak Maret 2025 dan terus dikebut. Targetnya bisa disahkan sebelum akhir tahun agar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku efektif pada awal 2026, bisa dijalankan. 

“Ini memang semaksimal mungkin bisa diselesaikan pada 2025, karena KUHAP itu akan berlaku pada 2 Januari 2026,” kata Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej dalam rapat panitia kerja (panja) RUU KUHAP Bersama Baleg DPR di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (13/11/2025).

Menurutnya, mulai awal 2026, KUHP lama sudah tidak berlaku lagi. Jika RUU KUHAP tidak disahkan, maka aparat penegak hukum akan kehilangan legitimasi untuk melakukan upaya paksa.

Pemerintah dan Komisi III DPR melanjutkan rapat panja revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Kamis, 13 November 2025. – (Beritasatu.com/Ilham Oktafian)

Akhirnya, dalam rapat itu, seluruh peserta termasuk delapan fraksi di DPR setuju RUU KUHAP untuk dibawa ke paripurna untuk disahkan.

“Pengesahan minggu depan, (dalam rapat paripurna) terdekat,” kata Ketua Komisi III DPR Habiburokhman.

Politisi Partai Gerindra itu menjelaskan ada 14 substansi utama dalam RUU KUHAP yang akan dibawa ke rapat paripurna DPR. 

Pertama, penyesuaian hukum acara pidana dengan perkembangan hukum nasional dan internasional. 

Kedua, penyesuaian pengaturan hukum acara pidana dengan nilai-nilai KUHP baru yang menekankan orientasi restoratif, rehabilitatif, dan restitutif guna mewujudkan pemulihan keadilan substansi dan hubungan sosial antara pelaku, korban, dan masyarakat.

Ketiga, penegasan prinsip diferensiasi fungsional dalam sistem peradilan pidana, yaitu pembagian peran yang proporsional antara penyidik, penuntut umum, hakim, advokat, dan pemimpin kemasyarakatan.

Keempat, perbaikan pengaturan mengenai kewenangan penyelidik, penyidik, dan penuntut umum serta penguatan koordinasi antarlembaga untuk meningkatkan efektivitas dan akuntabilitas sistem peradilan pidana. 

Kelima, penguatan hak-hak tersangka, terdakwa, korban, dan saksi, termasuk hak atas bantuan hukum, peradilan yang adil, dan perlindungan terhadap ancaman atau kekerasan.

Keenam, penguatan peran advokat sebagai bagian integral sistem peradilan pidana, termasuk kewajiban pendampingan dan pemberian bantuan hukum cuma-cuma oleh negara.

Ketujuh, pengaturan mekanisme keadilan restoratif (restorative justice) sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan. 

Kedelapan, perlindungan khusus terhadap kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas, perempuan, anak, dan lanjut usia, disertai kewajiban aparat untuk melakukan asesmen dan menyediakan sarana pemeriksaan yang ramah. 

Kesembilan, penguatan perlindungan penyandang disabilitas dalam setiap tahap pemeriksaan.  

Kesepuluh, perbaikan pengaturan tentang upaya paksa dengan memperkuat perlindungan HAM dan asas due process of law, termasuk pembatasan waktu dan kontrol yudisial oleh pengadilan. 

Kesebelas, pengenalan mekanisme hukum baru, seperti pengakuan bersalah bagi terdakwa yang kooperatif dengan imbalan keringanan hukuman serta perjanjian penundaan penuntutan bagi pelaku korporasi.

Kedua belas, pengaturan prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi.

Ketiga belas, pengaturan hak kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagai hak korban dan pihak yang dirugikan akibat kesalahan prosedur penegakan hukum. 

Keempat belas, modernisasi hukum acara pidana untuk mewujudkan peradilan yang cepat, sederhana, transparan, dan akuntabel.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menilai proses pembahasan RUU KUHAP dan substansi yang diputuskan dalam rapat tersebut bermasalah.

“Proses pembahasan tampak terburu-buru untuk mengejar pengesahan KUHAP agar dapat berlaku bersamaan dengan KUHP baru pada Januari 2026,” kata Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP Muhammad Isnur, Jumat (14/11/2025).

Menurutnya, Panja RUU KUHAP tidak mengakomodasi masukan-masukan yang disampaikan oleh Koalisi Masyarakat Sipil sehingga RUU KUHAP yang disetuju dibawa ke paripurna tersebut masih memuat pasal-pasal bermasalah, pasal karet, dan pasal yang menyuburkan praktik penyalahgunaan wewenang.

Tangkapan layar draf DIM RUU KUHAP. – (Beritasatu.com/Sukarjito)

Dia menyoroti operasi operasi undercover buy (pembelian terselubung) dan controlled delivery (pengiriman di bawah pengawasan) yang sebelumnya hanya menjadi kewenangan penyidikan kasus narkotika, tetapi dalam RUU KUHAP berpotensi bisa digunakan untuk pidana lain tanpa batas dan pengawasan hakim (Pasal 16). Kewenangan yang sangat luas ini dinilai bisa membuka peluang terjadinya penjebakan (entrapment), karena aparat dapat merekayasa siapa pelaku dalam rangka menentukan ada atau tidaknya tindak pidana pada tahap penyelidikan.

Kemudian pada Pasal 5 RUU KUHAP, menurutnya, semua bisa saja ditangkap dan ditahan pada tahap penyelidikan meski belum terkonfirmasi tindak pidana, karena aparat diberi kewenangan melakukan itu. Padahal, dalam KUHAP yang masih berlaku, aparat tidak boleh melakukan penahanan pada tahap penyelidikan.  

Koalisi juga menyorot pasal yang mengatur upaya paksa penangkapan dan penahanan dalam RUU KUHAP yang dinilai bisa memberi ruang kesewenang-wenangan bagi aparat tanpa melalui mekanisme pengawasan pengadilan.

RUU KUHAP juga dinilai memberikan kewenangan kepada penyidik untuk menyadap tanpa izin hakim, sehingga semua warga negara berpotensi terkena sadap, blokir, hingga penyitaan atas penilaian subjektivitas aparat.