Ritel Modern dan UMKM: Antara Peluang Kemitraan dan Ancaman Dominasi

Ritel Modern dan UMKM: Antara Peluang Kemitraan dan Ancaman Dominasi

Bisnis.com, JAKARTA — Kemitraan antara ritel modern dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) kembali menjadi sorotan. Di satu sisi, kerja sama ini membuka peluang bagi produk lokal untuk menembus pasar yang lebih luas.

Di sisi lain, ekspansi masif jaringan minimarket modern seperti Alfamart dan Indomaret dinilai berpotensi menekan ruang tumbuh usaha kecil dan toko tradisional.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Solihin menegaskan, peluang UMKM untuk bermitra dengan jaringan ritel modern saat ini terbuka lebar.

Bahkan, menurutnya, peritel besar memberikan sejumlah kelonggaran pembayaran bagi UMKM dibandingkan pemasok besar.

Namun, ia menekankan bahwa kemitraan ini hanya akan berkelanjutan jika pelaku UMKM mampu menjaga mutu dan kontinuitas pasokan.

“Mutu dan kualitas harus tetap terjaga. Selain itu, kontinuitas juga penting. Jangan sampai hari ini barang tersedia, tetapi dua minggu kemudian habis,” ujar Solihin di sela acara Hari Ritel Nasional 2025 di Jakarta Selatan, Selasa (11/11/2025).

Produk UMKM yang paling banyak menghiasi rak-rak ritel modern saat ini adalah makanan dan minuman. Solihin menilai, untuk memperluas pasar, UMKM perlu meningkatkan standar masa kedaluwarsa produknya.

Bahkan, sambungnya, di beberapa negara, produk yang diperdagangkan harus memiliki masa kedaluwarsa minimal satu tahun. Sementara itu, produk UMKM kita rata-rata hanya enam hingga delapan bulan.

Menteri Perdagangan Budi Santoso turut menegaskan pentingnya peran jaringan ritel modern dalam memperkuat distribusi produk dalam negeri. Menurutnya, pola kemitraan yang telah berjalan selama satu dekade terakhir perlu diperluas, bukan dibatasi.

“Apabila produk UMKM diterima pasar domestik, ini menjadi salah satu cara untuk menahan laju impor,” ujar Budi.

Data Kementerian Perdagangan menunjukkan, rata-rata porsi produk UMKM di ritel modern saat ini mencapai 15%, namun di beberapa wilayah Jakarta, proporsinya bahkan telah meningkat hingga 80%, terutama untuk kategori makanan dan minuman.

“Kalau produk UMKM diterima di dalam negeri dan bisa bersaing, itu bukti kita mulai mengonsumsi produk buatan sendiri,” tegas Budi.

Kekhawatiran atas Dominasi Minimarket

Meski kemitraan dengan ritel modern dianggap membawa manfaat, sejumlah pihak tetap menyuarakan kekhawatiran. Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar menilai ekspansi besar-besaran jaringan minimarket bisa ‘membunuh’ ekonomi rakyat.

“Ritel raksasa seperti Indomaret dan Alfamart yang masuk ke kampung-kampung berpotensi membunuh para pelaku UMKM,” ujar Muhaimin.

Sebagai respons, pemerintah tengah menyiapkan kebijakan rantai bisnis berkeadilan guna melindungi pelaku usaha kecil. Deputi Bidang Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dan Pelindungan Pekerja Migran Leontinus Alpha Edison menjelaskan, kebijakan ini bukan bentuk pelarangan, melainkan upaya menciptakan ekosistem yang lebih adil dan inklusif.

“Pemerintah tidak sedang mematikan Indomaret dan Alfamart, tetapi berupaya melakukan pemerataan rantai bisnis yang adil,” jelas Leon.

Ia mengingatkan bahwa banyak toko kecil terancam gulung tikar akibat keterbatasan modal dan akses.

“Jangan hanya hitung berapa orang yang bekerja di Alfamart dan Indomaret, tapi hitung juga berapa toko kecil yang mati,” ujarnya.

Data Aprindo mencatat, hingga akhir 2025 jumlah gerai Indomaret mencapai sekitar 24.141 unit, sementara Alfamart memiliki sekitar 20.120 unit di seluruh Indonesia. Kedua jaringan itu masih menargetkan ekspansi agresif dengan penambahan sekitar 1.000 gerai baru per tahun.

Menata Ulang Ekosistem Ritel

Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal menilai langkah perlindungan terhadap UMKM perlu disertai kebijakan yang realistis. Ia menyebut, ritel modern harus diatur lebih ketat terutama dalam hal izin dan distribusi, agar pertumbuhan minimarket tidak menekan toko tradisional.

“Kalau dibiarkan bebas, sulit bagi usaha tradisional berkembang. Perlu pengaturan soal jarak dan distribusi agar lebih seimbang,” kata Faisal.

Ia juga menyoroti pentingnya memperkuat rantai pasok ritel tradisional dan memberikan pendampingan teknis kepada pelaku UMKM, mulai dari manajemen toko, tampilan produk, hingga pelayanan pelanggan.

Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin berpendapat bahwa pengaturan ekspansi ritel modern harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak mengganggu iklim investasi.

“Pembatasan ekspansi memang perlu, tapi jangan sampai menimbulkan ketidakpastian investasi,” ujarnya.

Menurutnya, solusi terbaik adalah melibatkan UMKM dalam rantai pasok ritel modern, bukan menutup gerai yang sudah ada. Dengan begitu, pelaku kecil tetap mendapat ruang tumbuh, sementara jaringan ritel besar tetap berkontribusi terhadap perekonomian.

Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Asosiasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Indonesia (Akumindo) Edy Misero menilai kehadiran ritel modern tidak seharusnya dipandang negatif. Menurutnya, jaringan minimarket justru membuka ruang pemasaran baru bagi produk UMKM, menyerap tenaga kerja lokal, dan memberikan kemudahan bagi konsumen.

“Hadirnya ritel besar seperti Alfamart dan Indomaret juga memberikan ruang kepada produk-produk UMKM untuk dipasarkan,” ujar Edy.

Ia menambahkan, segmen pasar yang dilayani berbeda. Masyarakat menengah ke atas lebih banyak berbelanja di ritel modern, sedangkan masyarakat menengah ke bawah masih setia di warung kelontong dan warung Madura.

“Warung Madura, misalnya, punya keunggulan seperti operasional 24 jam, margin fleksibel, dan kedekatan dengan pelanggan,” tambahnya.