Tragedi SMAN 72: Ilusi Gim, Kegagalan Sistem

Tragedi SMAN 72: Ilusi Gim, Kegagalan Sistem

Tragedi SMAN 72: Ilusi Gim, Kegagalan Sistem
Peneliti & Assessor pada IISA Assessment Consultancy & Research Centre
TRAGEDI
ledakan di SMAN 72 Jakarta pada 7 November 2025, yang melukai 96 anggota komunitas sekolah, adalah duka kolektif.
Di tengah kabut trauma dan kebingungan, respons publik, terutama dari negara, menjadi penentu arah pemulihan dan pencegahan.
Karena itu, ketika Presiden Prabowo Subianto mengindikasikan rencana untuk membatasi game online, secara spesifik menyebut
PUBG
sebagai buntut peristiwa ini, kita tidak sedang melihat solusi, tapi gejala.
Sebagai seorang praktisi psikologi yang telah 40 tahun meneliti interaksi antara kebijakan, pendidikan, dan perilaku sosial, respons ini secara psikologis dapat dipahami. Namun, secara empiris sangat bermasalah.
Kita menyaksikan refleks kebijakan yang bertumpu pada serangkaian sesat pikir (
logical fallacies
), mengorbankan analisis akar masalah demi solusi instan yang ilusif.
Respons yang mengarahkan penyebab tragedi ke “gim” adalah reaksi yang secara emosional dapat dimengerti: kita ingin menemukan musuh yang jelas, cepat, dan dapat ditunjuk.
Namun secara logis, menyamakan permainan digital dengan penyebab langsung tragedi ini adalah jalan pintas pemikiran yang berbahaya.
Menyalahkan media hiburan atas tindakan terencana dan berdampak besar tidak menjawab pertanyaan yang paling penting: siapa yang gagal menangkap tanda-tanda bahaya, dan mengapa sistem yang ada tidak melindungi mereka yang rentan?
Data awal dan pemeriksaan lapangan menunjukkan dua kegagalan yang bersifat institusional:
perundungan
berat yang berlangsung lama dan kemungkinan radikalisasi ideologis.
Perundungan yang sistemik merongrong harga diri, harapan, dan jaringan sosial seorang anak sehingga rasa marah dapat berubah menjadi tindakan destruktif.
Di saat sama, ideologi kekerasan dan manifestos kejahatan mendatang kini tersebar melalui ekosistem digital yang luas, memudarkan batas antara imaji dan pembenaran tindakan nyata. Menghadapi ini memerlukan diagnosis yang berbeda dari sekadar kata “sensor” atau “larangan”.
Kebijakan publik sering tergoda untuk memilih solusi yang terlihat tegas di permukaan: melarang akses, memblokir aplikasi, atau menunjuk kambing hitam. Itu memberi kesan bahwa sesuatu sedang dilakukan.
Namun, tindakan simbolik semacam ini tidak menyentuh akar: budaya sekolah yang membiarkan perundungan, lemahnya implementasi tim pencegahan kekerasan yang diatur kebijakan, dan ketiadaan program pendidikan yang menumbuhkan ketahanan kognitif terhadap propaganda kekerasan.
Pertama, kita harus mengakui kegagalan implementasi regulasi yang sudah ada. Memiliki peraturan adalah langkah awal. Namun tanpa audit, pelatihan guru, dan alokasi sumber daya nyata, peraturan itu tetap menjadi kata-kata pada kertas.
Sekolah perlu diberi dukungan untuk membangun budaya aman: pelatihan konselor dan guru, mekanisme pelaporan yang aman bagi korban, serta pengawasan independen yang menilai iklim sekolah secara berkala.
Kedua, intervensi anti-perundungan berbasis bukti harus diadopsi dan diadaptasi. Implementasi yang baik mencakup kurikulum, pengawasan perilaku, dan program restoratif yang memulihkan hubungan, bukan hanya menghukum.
Ini memerlukan komitmen anggaran dan waktu. Hasilnya sering baru terlihat setelah beberapa tahun—namun manfaatnya nyata: penurunan insiden, iklim sekolah yang lebih sehat, dan anak-anak yang lebih mampu membangun hubungan aman.
Ketiga, kita harus memperluas literasi digital menjadi literasi kritis. Bukan sekadar mengajari anak “bagaimana menggunakan gadget”, melainkan melatih keterampilan analitik untuk membaca, memverifikasi, dan memahami narasi yang mereka temui di online.
Ini termasuk pengenalan terhadap mekanika radikalisasi: bagaimana pesan ekstrem memanfaatkan keresahan emosional, bagaimana ekosistem algoritmik memperkuat gema, dan bagaimana membangun kebiasaan bertanya — bukan memercayai — terhadap konten yang memancing kemarahan atau kebencian.
Keempat, peran platform dan tanggung jawabnya tidak boleh diabaikan. Regulasi yang cerdas menggabungkan pencegahan dengan kerja sama platform: transparansi moderasi, akses pada moderator lokal yang memahami konteks budaya, dan mekanisme cepat untuk menangani konten yang mempromosikan kekerasan.
Sekali lagi, ini bukan pengganti perbaikan di tingkat sekolah dan keluarga; ia melengkapi pendekatan yang lebih luas.
Kita berutang pada korban dan keluarga mereka sebuah jawaban yang lebih matang daripada kemarahan instan.
Kepanikan moral—kebutuhan cepat menunjuk “penjahat” budaya—memuaskan rasa takut sementara, tetapi meninggalkan kerusakan struktural tetap ada.
Mengatasi akar perundungan dan kerentanan terhadap radikalisasi memerlukan kesabaran, komitmen anggaran, dan keberanian politik untuk menolak solusi yang tampak cepat, tapi dangkal.
Di ruang-ruang konseling, guru, dan ruang rapat dinas pendidikan, kita harus berbicara dengan bahasa yang menghubungkan empati dan logika: empati untuk merawat luka, logika untuk membangun kebijakan yang tahan uji.
Tragedi SMAN 72 menuntut kita bertanya bukan hanya “apa yang bisa segera diblokir?” tetapi “apa yang harus kita bangun agar tragedi ini tak terulang?”
Jawabannya tak akan nyaman dan tak akan cepat, tetapi ia adalah pekerjaan kolektif yang layak diperjuangkan demi keselamatan anak-anak kita.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.