Menjadikan Lembaga Penyiaran Tetap Relevan di Era Multiplatform: Strategi Relaksasi, Proteksi, dan Tambahan Layanan

Menjadikan Lembaga Penyiaran Tetap Relevan di Era Multiplatform: Strategi Relaksasi, Proteksi, dan Tambahan Layanan

Liputan6.com, Jakarta Industri televisi Indonesia sedang menghadapi masa paling menantang dalam sejarahnya. Dulu siaran televisi menjadi pusat perhatian, penentu tren, dan sumber utama hiburan dan informasi bagi publik Indonesia. Kini di tengah derasnya arus konten digital posisi itu tergeser oleh platform digital yang tidak perlu memiliki izin siaran.

Penonton televisi kini sudah bisa menonton dari layar genggam sehingga tidak harus di layar kaca seperti sebelumnya. Pengiklan memindahkan anggaran mereka ke media sosial dan platform digital lain yang lebih murah dan terukur. Sementara itu televisi tetap dibebani oleh regulasi berat, biaya tinggi, dan batasan-batasan yang lahir dari era analog. Padahal televisi nasional masih memegang peran vital seperti menyebarkan informasi kredibel, menyediakan hiburan, menjaga kohesi sosial, dan menjadi ruang publik bagi masyarakat luas.

Maka pertanyaan besarnya adalah bagaimana membuat lembaga penyiaran tetap relevan di era multiplatform?

Jawabannya ada dalam tiga kata kunci yaitu relaksasi, proteksi, dan tambahan layanan. Secara singkat uraian dari tiga hal tersebut adalah:

1. Relaksasi

Regulasi penyiaran harus mengikuti perkembangan zaman. Sudah terlalu lama lembaga penyiaran bekerja di bawah bayang-bayang regulasi yang usang. Banyak ketentuan dalam Undang-Undang Penyiaran nomor 32 Tahun 2002 dan peraturan turunannya lahir di awal tahun 2000 an, pada saat platform digital seperti YouTube, TikTok, Netflix, dan lain lain belum ada. Karenanya beberapa regulasi penyiaran dalam UU Penyiaran harus direvisi. Relaksasi bukan penghapusan kewajiban tetapi penyesuaian terhadap realitas baru agar industri penyiaran bisa bernapas dan berinovasi.

Dengan relaksasi, TV bisa lebih adaptif, efisien, dan memiliki keleluasaan untuk mengembangkan model bisnis baru berbasis digital. Konkritnya, dari peraturan perundang-undangan penyiaran, ketentuan yang perlu DIHAPUS meliputi batasan iklan niaga 20% per hari, kewajiban siaran lokal 10%, kewajiban Iklan Layanan Masyarakat (ILM), batasan wilayah layanan siaran, beban laporan adminsitratif. Yang harus DIUBAH adalah ketentuan tentang promosi produk tembakau/rokok, SSJ dimana badan hukum lebih dari satu, sanksi pidana dan denda administratif, perizinan penyelenggaraan penyiaran. Sedangkan yang harus DIATUR ULANG adalah ketentuan tentang PNBP Biaya Izin IPP dan ISR, teknologi penyiaran digital.

2. Proteksi

Tujuan dari proteksi ini adalah untuk menjaga kedaulatan konten media penyiaran nasional Indonesia. Proteksi bukan berarti dimanja tetapi dilindungi agar adil bersaing dengan platform global. Proteksi adalah bentuk keadilan dalam kompetisi yang timpang bukan bentuk ketergantungan. Proteksi tidak dimaknai sebagai perlakuan istimewa melainkan bentuk affirmative action negara untuk memastikan ekosistem media nasional tetap hidup dan berfungsi strategis bagi aspek poleksosbudhankamnas Indonesia. Negara perlu hadir memastikan hal tersebut.

Dalam hal ini paling tidak ada 3 (tiga) hal yang perlu diregulasi yaitu; pertama terkait dengan Perlindungan Hak Ekonomi Konten/Publishing Rights / Copyright Enforcement (Platform digital wajib menghormati hak cipta atas konten milik TV; Mencegah pembajakan dan re-upload tanpa izin). Kemudian kedua dalam hal Keadilan Monetisasi Konten/Revenue Sharing (Wajib ada pembagian pendapatan yang adil antara platform digital dan TV; Konten TV yang ditayangkan ulang di platform harus menghasilkan royalty fee). Dan ketiga dalam hal Dukungan Fiskal dan Insentif Negara (Prioritas belanja iklan pemerintah (state/government spending) untuk TV nasional; Insentif fiskal: pengurangan pajak, relaksasi PNBP, subsidi bandwidth digital; Pengakuan negara atas siaran televisi sebagai bentuk nyata kedaulatan konten siaran dan sebagai aset bangsa.

3. Tambahan Layanan

Dalam hal ini televisi harus bertransformasi menjadi Digital Broadcaster. Relaksasi dan Proteksi akan percuma tanpa inovasi berupa Tambahan Layanan Lembaga Penyiaran. TV harus berubah dari media satu arah menjadi platform interaktif dan konvergen. Digital dividend yang diperoleh negara saat Analog Switch Off (ASO) dan ketersediaan jaringan internet di Indonesia, memberi peluang besar bagi lembaga peyiaran televisi untuk menyediakan tambahan layanan.

Stasiun televisi tidak hanya menyiarkan tapi juga bisa diakses melalui aplikasi, memiliki fitur chat dengan pemirsa, dan menyediakan konten on demand. Inilah wajah baru penyiaran nasional Indonesia yang sejajar dengan platform digital yaitu televisi yang bukan hanya disaksikan tapi juga dapat berinteraksi.

Ada beberapa pilihan tambahan layanan seperti Video on Demand/VOD sehingga pemirsa dapat memilih tayangan kapan saja (menggunakan teknologi DVB-T2 + DVB-I + DVB-NIP +  HbbTV), Engagement / Chat dengan Pemirsa yaitu fitur interaktif seperti voting, komentar, atau Q dan A real time (menggunakan teknologi DVB-I + DVB-NIP +  HbbTV), Live dan Non live Streaming Channels berupa siaran paralel (simulcast) dan eksklusif konten non linear (menggunakan teknologi DVB-T2 + DVB-I + DVB-NIP + HbbTV + OTT + 5G Broadcast), Electronic Program Guide (EPG) yang memungkinkan penonton dapat mencari, rekomendasi, dan menjadwalkan siaran (menggunakan teknologi DVB-T2 + DVB-I + HbbTV), Data Broadcasting dan Alert System yang menyampaikan data publik seperti prakiraan cuaca, kebencanaan, e-government (menggunakan teknologi DVB-T2 + DVB-I + HbbTV  + 5G Broadcast), dan layanan Service Hybrid OTT-FTA yaitu integrasi antara TV Free To Air dengan layanan OTT nasional (menggunakan teknologi DVB-I + DVB-NIP + HbbTV). Konsekuensi dari adanya tambahan layanan ini maka perizinan lembaga penyiaran harus disesuaikan sehingga bisa bersiaran dengan menggunakan tambahan layan yang berbasis frekuensi dan internet.