Bisnis.com, JAKARTA – Polemik singkong jauh dari selesai. Petani di sentra-sentra produksi singkong, seperti di Lampung, mogok panen. Janji-janji harga beli singkong menguntungkan petani tak kunjung terwujud.
Harga singkong seperti yang ditetapkan di Instruksi Gubernur Lampung (Rp1.350/kg) hanya ilusi. Oleh pabrik tapioka, singkong hanya dibeli Rp600-Rp700/kg karena ada rafaksi harga hingga 40%. Harga serendah itu tidak menguntungkan petani. Mogok panen pilihan yang pahit, tapi rasional.
Setelah menunggu 9-10 bulan menanam, panen adalah penentuan nasib: untung atau buntung. Polemik tak berkesudahan ihwal singkong menandai masalah di industri ini tidak tuntas diurai. Otoritas kebijakan bertindak reaktif kala ada masalah, terutama protes pelaku usaha, sehingga ramuan kebijakan tidak utuh, hanya menjawab gejala.
Akar masalah tak disentuh. Gejala dan protes bisa saja diredam, tetapi seperti penyakit akut, akar masalah kembali muncul manakala ada pemicu. Ini terus berulang. Dalam bingkai agribisnis, karut marut singkong ini bisa diurai, mulai dari hulu, tengah, hingga hilir. Mengikuti program penghiliran yang didorong Presiden Prabowo Subianto, di hilir, setelah melewati tepungisasi, pati singkong dapat dikembangkan menjadi produk bernilai tambah, seperti tapioka, pemanis, beras analog, bahkan bioetanol dan bioplastik.
Makin dalam penghiliran, nilai tambahnya kian besar. Sejak puluhan tahun lalu, sejumlah perusahaan berinvestasi membangun industri hilir, seperti tepung mocaf, tepung tapioka, dan bioetanol. Ternyata industri hilir ini tidak berkembang dengan baik. Salah satu masalahnya adalah pasokan bahan baku singkong. Bukan hanya soal kuantitas, tapi juga kualitas, dan kontinuitas.
Lazimnya industri, mereka butuh keseragaman jenis dan kualitas umbi. Juga kontinuitas paso-kan sepanjang tahun dengan harga bersaing. Tuntutan ini belum sepenuhnya bisa dija-wab. Varietas singkong petani yang beragam membuat keseragaman jenis dan kualitas sulit dipenuhi. Apalagi, di antara ragam varietas itu kandungan patinya juga ber-aneka rupa: tinggi, sedang, dan rendah.
Seperti komoditas pangan lain, produksi singkong bersifat musiman. Pada puncak produksi, Juli-Oktober, produksi besar bahkan melimpah. Pada bulan-bulan lain produksi rendah. Penanaman yang relatif serentak berbuah musim panen yang ajek. Ketika panen besar, produk-si melimpah. Harga singkong cenderung tertekan. Sebaliknya, saat produksi terbatas harga akan naik. Menghadapi struktur pasar bersifat oligopsoni, petani relatif tak berdaya dan hanya sebagai menerima harga (price taker).
Kebutuhan likuiditas yang mendesak mem-buat posisi petani makin ren-tan di depan pabrik tapioka. Sebagian besar singkong di Lampung diserap industri tapioka. Pada 2022, Lampung memproduksi singkong 5,95 juta ton atau 39,74% dari produksi nasional yang mencapai 14,98 juta ton. Merujuk kajian KPPU, pada 2021 tercatat ada 71 pabrik tapioka di Lampung.
Meski jumlahnya cukup banyak, pasar dikendalikan empat perusahaan besar dengan penguasaan serapan 75%. Perusahaan tapioka memiliki keleluasaan menentukan harga (price maker). Ketergantungan tinggi petani pada mereka juga rentan pemaksaan rafaksi.
Usaha tani singkong terkesan ‘sederhana’. Ini boleh jadi karena superioritas sing-kong: tumbuh baik di lahan marginal, tahan kekeringan, dan tak perlu input setinggi padi atau jagung. Sebagai negara tropis dengan sinar matahari sepanjang tahun dan tenaga kerja melimpah, produksi singkong sepertinya mudah. Namun, begitu singkong dimasukkan kerangka kerja industri tampak menghadapi masalah serius.
Ketika petani hendak digerakkan untuk meningkatkan produksi, masalah yang ada juga tidak mudah. Masalah-masalah itu terkait karakteristik singkong.
Pertama, singkong butuh 9-10 bulan dari awal tanam hingga siap dipanen. Berarti selama 9-10 bulan petani tidak akan memperoleh pendapatan, sedangkan skema pembiayaan yang dapat mengatasi masalah arus kas petani belum ada. Kedua, singkong termasuk kategori tanaman pangan. Ini menyulitkan bagi investor untuk mengembangkan “perkebunan” dengan pengaturan izin HGU plus kemudahan mendapatkan kredit usaha (Krisnamurthi, 2025).
Pendek kata, kurangnya ‘huluisasi’ membuat ‘hilirisasi’ tidak berkembang baik. Akibatnya, daya saing produk hilir singkong rendah. Ironisnya, industri berbasis singkong justru harus impor bahan baku.Dalam kaca mata agribisnis, kesenjangan hulu-hilir ini memunculkan tiga tantangan. Pertama, penghiliran butuh penghuluan. Sektor on-farm harus mampu mendukung industri hilir.
Dukungan riset, adopsi varietas unggul, pengaturan tanam, dan pendampingan petani itu keniscayaan. Ujungnya, produktivitas yang tinggi, kontinu, dan bersaing. Kedua, selain asuransi juga perlu skema pembiayaan yang memungkinkan petani mengakses kredit untuk hidup selama menunggu panen. Ini perlu kerja sama industri dan perbankan.
Ketiga, kebijakan perdagangan yang memihak industri domestik. Penghiliran jelas perlu peran investasi dan kewi-rausahaan. Investasi akan tidak berkelanjutan tanpa dukungan bahan baku di hulu dan kebijakan perdagangan.
Impor produk hilir berbasis singkong bebas, tanpa ada bea masuk, sehingga harganya lebih murah. Perlu ramuan kebijakan perdagangan yang melin-dungi industri dalam negeri tanpa harus membebani konsumen dengan membayar produk berbasis singkong dengan harga tinggi.
