JAKA Tolak Gelar Pahlawan untuk Soeharto: Khianati HAM dan Semangat Reformasi

JAKA Tolak Gelar Pahlawan untuk Soeharto: Khianati HAM dan Semangat Reformasi

Surabaya (beritajatim.com) – Rencana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto menuai penolakan tegas dari kalangan akademisi.

Jaringan Ksatria Airlangga (JAKA), yang mewadahi beberapa alumnus Universitas Airlangga (UNAIR), menyatakan penolakan tersebut dalam Pernyataan Sikap resmi mereka yang dirilis pada Sabtu (8/11/2025) hari ini.

​Jaringan alumnus UNAIR ini menegaskan penolakan mereka didasarkan pada penilaian rasional dan tanggung jawab moral, bukan kebencian pribadi. Mereka menyoroti empat alasan utama yang berkaitan dengan integritas sejarah dan marwah Reformasi 1998.

​Koordinator JAKA, Teguh Prihandoko, menjelaskan bahwa penolakan ini berakar dari catatan kelam selama Orde Baru.

​”Pemberian gelar pahlawan kepada sosok yang berkaitan dengan rentetan kekerasan politik berarti melukai ingatan keluarga para korban dan mengabaikan prinsip keadilan sejarah,” ujar Teguh dalam pernyataan tertulisnya kepada media.

​JAKA menyoroti pelanggaran HAM sistematis, seperti Peristiwa 1965-1966, kasus Tanjung Priok, Marsinah, hingga Penculikan Aktivis 1997-1998 dan Tragedi Mei.

​Selain isu HAM, JAKA juga mempermasalahkan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang identik dengan era kepemimpinan Soeharto.

​”Mengangkat tokoh yang identik dengan KKN sebagai pahlawan berarti memberikan legitimasi moral terhadap praktik korupsi,” tegasnya.

​Jaringan alumni UNAIR ini juga melihat pemberian gelar pahlawan sebagai instrumen pendidikan historis. Mereka khawatir, gelar tersebut akan mengirimkan pesan keliru kepada generasi muda bahwa kekuasaan yang korup dan melanggar HAM dapat ditolerir.

​Menurut dia, Reformasi 1998 adalah puncak perjuangan rakyat menuntut akhir dari kekuasaan yang korup dan otoriter. ​”Mengangkat Soeharto sebagai pahlawan berarti mengkhianati semangat reformasi, melemahkan perjuangan mahasiswa dan rakyat, serta membuka jalan normalisasi otoritarianisme,” pungkasnya.

​JAKA mendesak Pemerintah serta Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan untuk mempertimbangkan secara objektif jejak pelanggaran HAM dan korupsi sebelum membuat keputusan. ​”Kita menolak glorifikasi pelanggaran moral dan kemanusiaan. Sejarah harus menjadi pelajaran, bukan alat pembenaran,” demikian sikap JAKA. [tok/beq]