Jakarta (ANTARA) – Aktivis dari Koalisi Rakyat Pemerhati Jakarta Baru (KATAR), Sugiyanto berpendapat kebijakan pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) dalam APBN 2026 berpotensi melemahkan pelaksanaan otonomi daerah.
Menurut dia, komposisi ideal pembagian belanja negara antara pemerintah pusat dan daerah adalah 75 persen untuk pusat dan 25 persen untuk daerah, sebagaimana yang telah berjalan dalam tiga tahun terakhir.
“Rasio 75:25 antara belanja pusat dan daerah terbukti logis, realistis dan berkeadilan. Ini merupakan bentuk keseimbangan fiskal antara efisiensi nasional dan kebutuhan fiskal daerah yang harus dijaga,” kata Sugiyanto dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Dikatakannya, berdasarkan data APBN 2023, belanja negara ditargetkan sebesar Rp3.041,7 triliun dengan alokasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) mencapai Rp811,7 triliun atau sekitar 26,58 persen dari total belanja negara.
Angka tersebut menunjukkan komitmen pemerintah terhadap keseimbangan fiskal antara pusat dan daerah.
Pada APBN 2024, belanja negara mencapai Rp3.325,1 triliun. Dari jumlah tersebut, TKDD dialokasikan sebesar Rp857,6 triliun atau 25,79 persen, sementara belanja pemerintah pusat sebesar Rp2.467,5 triliun atau 74,21 persen.
“Komposisi ini relatif seimbang dan konsisten dengan pola fiskal tahun sebelumnya,” ujarnya.
Begitu pula pada APBN 2025, belanja negara ditetapkan sebesar Rp3.621,3 triliun, terdiri atas belanja pemerintah pusat dan TKDD. Alokasi TKDD mencapai Rp919,9 triliun atau sekitar 25,40 persen, sedangkan belanja pemerintah pusat dialokasikan sebesar Rp2.701,4 triliun atau sekitar 74,59 persen.
Namun, keseimbangan tersebut berubah drastis pada APBN 2026. Berdasarkan Undang-Undang APBN 2026 yang disahkan DPR pada 23 September 2025, alokasi TKD hanya sekitar Rp693 triliun atau 18,03 persen dari total belanja negara sebesar Rp3.842,7 triliun.
Sebaliknya, belanja pemerintah pusat meningkat tajam menjadi Rp3.149,7 triliun atau 81,95 persen.
“Artinya, terjadi penurunan alokasi dana transfer sebesar sekitar Rp267 triliun dari tahun sebelumnya. Ini pemangkasan hingga 29,34 persen yang jelas akan berdampak luas bagi daerah,” katanya.
Sugiyanto menjelaskan, TKD bukanlah bentuk subsidi dari pemerintah pusat, melainkan perwujudan nyata dari keadilan fiskal dan desentralisasi sebagaimana diamanatkan UUD 1945 serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD).
Menurut dia, pemotongan dana transfer dalam jumlah besar akan menurunkan kemampuan fiskal daerah dalam menjalankan fungsi pelayanan publik, membayar gaji pegawai serta membiayai infrastruktur dasar.
Dia pun mengingatkan bahwa banyak daerah masih memiliki kapasitas fiskal rendah sehingga sangat bergantung pada dana transfer pusat.
Kalau dana transfer dipangkas sedalam itu, daerah akan kesulitan menjaga keberlanjutan pelayanan publik. “Ini berisiko menambah ketimpangan fiskal antarwilayah dan bertentangan dengan semangat pemerataan pembangunan,” katanya.
Sugiyanto menambahkan, pemerintah pusat memang membutuhkan anggaran besar untuk agenda prioritas nasional seperti ketahanan pangan, energi, pendidikan, kesehatan dan program makan bergizi gratis, namun.kebijakan tersebut seharusnya tidak mengorbankan kemampuan fiskal daerah.
“Menjaga komposisi 75 persen untuk pusat dan 25 persen untuk daerah adalah bentuk keadilan fiskal yang sehat. Kalau porsi untuk daerah turun hanya 18 persen, itu jelas tidak seimbang dan bisa melemahkan semangat otonomi daerah,” kata dia.
Ia juga mendukung langkah sejumlah gubernur yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) untuk mengajukan permintaan peninjauan ulang kepada Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa agar alokasi TKD 2026 tidak dipangkas terlalu drastis.
“Kami berharap pemerintah pusat mendengarkan aspirasi daerah. Jangan pangkas TKD karena menjaga rasio 75:25 berarti menjaga amanat konstitusi, memperkuat otonomi daerah, dan menjamin pemerataan pembangunan di seluruh Indonesia,” kata Sugiyanto.
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
