Raperda KTR Difinalisasi, Ketua DPRD DKI Pastikan Merokok dan Penjualannya Tetap Boleh di Tempat Hiburan  

Raperda KTR Difinalisasi, Ketua DPRD DKI Pastikan Merokok dan Penjualannya Tetap Boleh di Tempat Hiburan  

JAKARTA – Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Raperda KTR) DPRD DKI Jakarta telah memfinalisasi pembahasan Raperda KTR. Setelahnya, draf raperda dibawa ke Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI Jakarta untuk dimatangkan sebelum pengesahan.

Pada draf tersebut, Pansus memutuskan tetap mempertahankan pasal pelarangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan.bSelain itu, Raperda KTR yang telah rampung juga menegaskan tidak ada lagi ruang merokok di dalam ruangan tertutup.

Meski begitu, Ketua DPRD DKI Jakarta Khoirudin menegaskan merokok maupun aktivitas perdagangan rokok masih diperbolehkan di tempat-tempat hiburan.

“Untuk tempat-tempat tertentu di tempat hiburan, kafe, itu dibolehkan. Jangan sampai merokoknya para perokok bisa mengganggu kesehatan orang lain. Kalau untuk berdagang, kan, masih boleh. Berdagang boleh. Iya, masih boleh di tempat hiburan seperti itu ya,” kata Khoirudin kepada wartawan, Kamis, 6 November.

Khoirudin menyampaikan, penerapan kawasan tanpa rokok tidak dimaksudkan untuk melarang aktivitas merokok secara keseluruhan, tetapi membatasi agar tidak dilakukan di lingkungan yang rentan, terutama pendidikan dan kesehatan.

“Karena ini adalah lembaga pendidikan, calon-calon pemimpin masa depan yang harus steril. Yang kedua, untuk lembaga kesehatan dan lain-lain,” papar Khoirudin.

Rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan DPRD DKI merampungkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) kembali menuai sorotan.

Sejumlah pasal dalam rancangan aturan itu dinilai berpotensi menekan sektor ekonomi rakyat kecil, terutama pedagang pasar tradisional dan pelaku usaha mikro.

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), M. Rizal Taufikurahman, menilai ketentuan tersebut tidak mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat bawah. Pelarangan yang meluas berpotensi menekan pedagang kecil dan memutus rantai ekonomi informal yang selama ini menopang perekonomian Jakarta.

“Jangan lupa bahwa pedagang kecil merupakan bantalan ekonomi Jakarta. Jika larangan penjualan diterapkan, efek domino negatifnya mencakup turunnya omzet, lesunya daya beli, dan meningkatnya pengangguran terselubung. Kondisi ini bisa menekan stabilitas sosial dan memperlebar kesenjangan ekonomi di tingkat bawah,” ujar Rizal kepada wartawan, Rabu, 5 November.

Menurut Rizal, pembuat kebijakan perlu berhati-hati karena Raperda KTR juga berpotensi menggerus pendapatan daerah. Pansus sendiri sebelumnya mengakui bahwa penerapan aturan ini dapat menurunkan penerimaan daerah hingga 50 persen dari sektor pertembakauan.

“Jadi, bukan langsung memangkas sumber penerimaan tanpa pengganti yang siap. Oleh karena itu, Ranperda KTR seharusnya mengedepankan keseimbangan antara kesehatan publik dan keberlanjutan ekonomi rakyat,” ujarnya.

Rizal menambahkan, kebijakan ini seharusnya dirancang secara proporsional dan adaptif, dengan menitikberatkan pada edukasi serta pengaturan kawasan publik bebas rokok tanpa menutup ruang legal bagi usaha mikro.

“Yang berfokus pada edukasi dan kawasan publik bebas rokok, namun tetap beri ruang legal bagi usaha mikro agar kebijakan ini inklusif dan tidak menimbulkan eksklusi ekonomi baru,” tutur Rizal.