Selain biodiesel untuk solar, Pertamina juga memproduksi Pertamax Green 95, produk bensin yang mengandung 5 persen etanol (E5) dan telah tersedia di 163 SPBU di seluruh Indonesia.
“Ke depan, kami menargetkan pengembangan E10, sehingga konsumsi bioetanol nasional akan meningkat,” Agung menambahkan.
Agung menyebutkan, Pertamina belajar dari keberhasilan Brazil dalam memanfaatkan tebu (sugarcane) sebagai bahan baku bioetanol.
“Brazil adalah contoh nyata bagaimana bioetanol dapat berhasil secara ekonomi, teknis, dan ekologis, bahkan membantu menjaga kelestarian hutan Amazon,” ungkapnya.
Selain bioetanol, Pertamina juga tengah mengembangkan bahan bakar penerbangan (avtur) berkelanjutan atau Sustainable Aviation Fuel (SAF) dari minyak jelantah (used cooking oil) sebagai bagian dari inisiatif keberlanjutan bisnis.
Di kilang Pertamina di Cilacap, SAF telah diproduksi melalui proses co-processing minyak jelantah sebesar 2,5 persen. Produk ini telah diuji coba oleh maskapai Pelita Air dalam penerbangan dari Jakarta ke Denpasar.
“Program ini juga menjadi bagian dari ekonomi sirkular. Masyarakat dapat menjual minyak jelantah di lebih dari 30 titik pengumpulan di SPBU. Minyak ini kemudian diolah kembali menjadi bahan bakar ramah lingkungan untuk sektor penerbangan,” tuturnya.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3950884/original/083651300_1646234565-Gedung_Pertamina.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)