Bisnis.com, JAKARTA — PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) mengungkapkan bahwa penggunaan sustainable aviation fuel/SAF alias bioavtur terbukti mengerek naik biaya bahan bakar hingga 8%.
Environmental Management System Division Head Garuda Indonesia Muhammad Oki Zuheimi menuturkan, adanya mandatory alias kewajiban penggunaan bahan bakar campuran, sangat mempengaruhi operasional maskapai pelat merah tersebut.
“Untuk saat ini, blending-nya memang baru 2%, tetapi penambahan cost atas bahan bakar ini juga tentunya menjadi meningkat. Airline itu sekitar 7%—8% untuk saat ini,” ujarnya dalam FGD Life Cycle Assessment Produksi Sustainable Aviation Fuel Berbasis Refined di Hotel Millenium, Kamis (30/10/2025).
Garuda Indonesia saat ini menjadi satu-satunya maskapai di Indonesia yang telah beroperasi menggunakan SAF, yakni untuk rute Bandara Internasional Soekarno—Hatta ke Amsterdam, Belanda.
Mengingat, negara tersebut telah menerapkan kewajiban penggunaan SAF 2% sejak 1 Januari 2025 lalu.
Indonesia sendiri berencana untuk mewajibkan penerbangan internasional menggunakan SAF 1% pada 2027, atau lebih cepat pada 2026.
Pada kesempatan yang sama, Kasubdit Keteknikan dan Lingkungan Bioenergi Ditjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Effendi Manurung mengungkapkan pada dasarnya peta jalan atau roadmap yang kala itu disusun oleh Kementerian Koordinator bidang Maritim dan Investasi (Kemenko Marves), mencantumkan mandat SAF 1% pada 2027 dan mencapai 5% pada 2029.
Dalam prosesnya, Effendi menuturkan bahwa ESDM membuka peluang percepatan implementasi SAF 1% untuk penerbangan internasional pada 2026. Meski demikian, apakah dalam bentuk mandatory atau penerapan secara bertahap, masih menunggu keputusan akhir.
Effendi menegaskan bahwa rencana penerapan SAF 1% ini juga telah mempertimbangkan sejumlah hal. Termasuk soal pasokan dan harga. Dirinya tak menampik bahwa saat ini memang harga bioavtur berupa SAF 1%, memang lebih mahal ketimbang avtur biasa.
Apabila dipaksakan untuk semua penerbangan, internasional dan domestik, secara langsung akan berdampak pada harga tiket yang penumpang bayar. Terlebih, belum ada kebijakan yang mengatur terkait pemberian insentif terhadap penggunaan bioavtur.
“Belum ada insentif dan agar tidak menjadi isu besar [kenaikan harga tiket], maka penerbangan luar negeri dahulu yang diterapkan. Ini rekomendasi dari Menko Marves waktu itu,” tuturnya.
Mengingat, saat ini penerbangan internasional mulai menunjukkan pemulihan dari pandemi Covid-19. Berbeda dengan penerbangan domestik yang masih perlu berjuang dan belum pulih 100%.
