Pengusaha Waspadai Harga CPO & TBS Tertekan Jika DMO untuk B50 Diterapkan

Pengusaha Waspadai Harga CPO & TBS Tertekan Jika DMO untuk B50 Diterapkan

Bisnis.com, JAKARTA — Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia (Gapki) memperkirakan harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan tandan buah segar (TBS) berpotensi tertekan jika diberlakukan domestic market obligation (DMO).

Adapun, wacana penerapan DMO untuk CPO itu muncul seiring rencana mandatory biodiesel 50% atau B50 pada tahun depan. Kebutuhan CPO untuk program B50 pada 2026 diperkirakan mencapai 5,3 juta ton.

Ketua Umum Gapki Eddy Martono menjelaskan, jika DMO diterapkan, maka volume ekspor bakal turun. Jika ekspor berkurang, penerimaan negara dari pungutan ekspor (PE) juga bakal turun.

Alhasil, Eddy pun berpendapat, pemerintah bakal menaikkan PE seiring dengan penerapan DMO CPO. Jika hal tersebut terjadi, maka harga CPO dan TBS di dalam negeri bisa tertekan.

“Kalau ekspor berkurang otomatis hasil pungutan berkurang sehingga yang paling memungkinkan PE dinaikkan. Dengan PE naik ini akan menekan harga CPO dalam negeri, otomatis harga TBS juga akan turun,” jelas Eddy kepada Bisnis, Rabu (29/10/2025).

Pernyataan Eddy itu selaras dengan hasil penelitian Universitas Indonesia (UI). Dalam penelitian bertajuk ‘Produksi Sawit, Dinamika Pasar, serta Keseimbangan Biodiesel di Indonesia’, mengungkapkan bahwa setiap kenaikan PE sebesar 1%, menurunkan harga TBS sekitar Rp333,67 per kg. 

Apalagi, skenario mandatory B50 membutuhkan PE sebesar 15,17%. Angka itu naik dibanding tarif saat ini, yakni 10%. Oleh karena itu, menyebabkan penurunan kumulatif harga TBS hingga Rp1.725 per kg.

Lebih lanjut, Eddy mengatakan bahwa lain cerita jika kebijakan implementasi B50 tidak diiringi dengan penerapan DMO. Menurutnya, jika tidak ada DMO, kebijakan B50 malah mampu menaikkan harga CPO dan DMO.

Dalam kesempatan terpisah, Eddy menuturkan, harga akan naik lantaran porsi CPO untuk bahan baku B50 bakal meningkat.

“Nah, saya hanya sedikit memberikan gambaran kira-kira tahun depan, kalau kita melihat adanya implementasi B50 di semester II [2026],  memang harga akan naik,” ucap Eddy dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (28/10/2025).

Kendati, dia belum bisa merinci berapa kenaikan harga CPO tersebut. Menurutnya, semua itu bakal dibahas secara detil dalam helatan Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2025 di Bali pada 12-14 November 2025 mendatang.

Untuk diketahui harga, CPO saat ini berada di level 4.350 ringgit Malaysia per ton atau setara Rp17,19 juta (asumsi kurs Rp3.952 per ringgit).

Untuk mengantisipasi hal itu, pihaknya pun berencana menggenjot produksi CPO pada tahun depan. Eddy menargetkan produksi CPO tahun depan dapat menyentuh 54 juta hingga 55 juta ton per tahun. Angka itu lebih tinggi dari realisasi produksi minyak sawit pada 2024, yakni 52,7 juta ton.

Menurut Eddy, kenaikan produksi CPO tidak akan terlalu signifikan pada tahun depan. Sebab, implementasi B50 baru efektif pada semester II 2026. Dia pun menyebut, produksi CPO bakal melonjak mulai 2027. 

“Jadi [produksi] tidak langsung melonjak drastis luar biasa. Itu [implementasi B50] kan di semester II 2026. Paling nanti akan terlihat sekali pengaruhnya di 2027,” jelas Eddy.