AMPHURI: Umrah Bukan Wisata Biasa seperti ke Turki

AMPHURI: Umrah Bukan Wisata Biasa seperti ke Turki

AMPHURI: Umrah Bukan Wisata Biasa seperti ke Turki
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI) mengingatkan bahwa ibadah umrah tidak seperti wisata biasa ke negara-negara di benua Eropa atau ke Turki.
Pernyataan itu disampaikan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) AMPHURI Zaki Zakaria, guna merespons keputusan pemerintah dan DPR RI yang resmi melegalkan umrah mandiri.
“Umrah bukan wisata biasa seperti ke Eropa atau Turki, melainkan ibadah mahdhah (ritual suci) yang menuntut bimbingan dan tata cara sesuai syariat,” kata Zaki, dalam keterangan tertulisnya, Minggu (26/10/2025).
Zaki mengatakan, pelaksanaan ibadah umrah yang mengabaikan biro Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) membuat masyarakat yang berangkat ke tanah suci kehilangan sentuhan pembinaan rohani dan sosial.
Selama ini, kata dia, pembinaan itu dilakukan oleh organisasi masyarakat Islam, pesantren, hingga lembaga dakwah.
Pihaknya menilai, masyarakat awam pada umumnya tidak memahami pengurusan administrasi perjalanan ke Tanah Suci hingga syarat dan rukun haji atau umrah.
“Jika tren ini dibiarkan, ekosistem umrah-haji berbasis keumatan yang tumbuh sejak zaman KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari bisa hancur perlahan,” tutur dia.
Sementara itu, menurut Zaki, keputusan pemerintah dan DPR melegalkan umrah mandiri membuka peluang bagi perusahaan tingkat global hingga
marketplace
asing berupa
online travel agent
dan
wholesaler
global seperti Traveloka, Tiket.com, Agoda, Maysan, dan lainnya untuk menjual langsung paket umrah ke masyarakat.
Penjualan itu dilakukan tanpa melibatkan PPIU sebagai biro perjalanan haji dan umrah yang dioperasikan oleh masyarakat Indonesia.
AMPHURI melihat bahwa penjualan paket umrah dari
wholesaler
tersebut bisa menimbulkan dampak luas.
Di antaranya, kedaulatan ekonomi umat hilang.
Padahal, sektor haji dan umrah telah membuka lebih dari 4,2 juta lapangan pekerjaan di Indonesia.
Pekerjaan tersebut meliputi
tour leader
, pemandu ibadah, usaha kecil mikro menengah (UMKM) yang menyediakan perlengkapan, hingga hotel dan katering lokal.
“Jika semua dialihkan ke sistem global, maka dana umat justru akan mengalir ke luar negeri, sementara tenaga kerja dalam negeri kehilangan penghasilan,” tutur Zaki.
Di sisi lain, pengawasan dan perlindungan terhadap jemaah menurun jika dibandingkan dengan penyelenggaraan perjalanan umrah melalui PPIU.
Biro perjalanan umrah Tanah Air, kata dia, harus mengantongi izin, akreditasi, sertifikasi, bank garansi, dan tunduk pada penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) di Kementerian Agama.
“Sementara entitas asing atau
marketplace
global tidak akan tunduk pada mekanisme yang sama, sehingga pengawasan negara melemah dan potensi penyimpangan meningkat,” kata Zaki.
Sebelumnya, pemerintah resmi melegalkan umrah mandiri.
Ketentuan itu diatur dalam Pasal 86 Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (UU PIHU).
Umrah mandiri mewajibkan calon jemaah memiliki paspor yang berlaku paling sedikit enam bulan dan sudah mengantongi tiket pulang dan pergi.
Selain itu, calon jemaah juga harus memiliki surat keterangan sehat dari dokter, mengantongi visa, dan tanda bukti pembelian paket layanan dari penyedia layanan di Sistem Informasi Kementerian Haji.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.