Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat menilai kualitas biji kakao dalam negeri masih tertinggal dibandingkan negara lain. Kondisi ini menyebabkan harga jual stagnan dan potensi keuntungan dari pengolahan kakao justru dinikmati negara lain.
Pengamat pertanian dari Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Eliza Mardian mengatakan hanya sekitar 10% kakao Indonesia yang difermentasi dengan baik. Rendahnya fermentasi ini menyebabkan mutu produk rendah dan kurang diminati pembeli premium seperti Eropa.
“Secara ekonomi, ini adalah hilangnya nilai tambah, kita menjual bahan mentah murah dalam bentuk biji kakao, sementara negara lain seperti Swiss meraup untung dari pengolahan,” kata Eliza kepada Bisnis, Kamis (23/10/2025).
Eliza menilai, lemahnya kualitas biji kakao dalam negeri berdampak langsung pada industri pengolahan kakao nasional yang juga tengah mengalami penurunan bahan baku.
Alhasil, lanjut dia, impor biji kakao meningkat hingga mencapai 63% dari total impor kakao pada 2023, berdasarkan kode Harmonized System (HS).
Sejalan dengan produksi kakao dalam negeri yang menurun, Eliza menyebut banyak pabrik kakao di dalam negeri yang tidak beroperasi secara penuh (idle capacity).
“Karena menurunnya produksi kakao dalam negeri menyebabkan ada idle capacity industri kakao, kapasitas terpakai industri kakao sekitar 59%-an,” imbuhnya.
Padahal, Eliza menilai Indonesia memiliki keunggulan komparatif dibanding negara produsen besar lain seperti Pantai Gading dan Ghana. Pasalnya, sambung dia, kakao dalam negeri memiliki rasa yang unik dari tanah vulkanik dan potensi berkelanjutan.
Untuk itu, Eliza menyebut perlu adanya peningkatan kualitas melalui fermentasi dan sertifikasi untuk membidik pasar niche seperti Eropa yang menuntut ketertelusuran (traceability) tinggi.
Namun, tantangan terbesar datang dari struktur petani kecil yang kesulitan menanggung biaya sertifikasi dan kurangnya insentif harga.
Di sisi lain, dia juga menyebut Indonesia masih memiliki tantangan dari struktur petani kecil yang kesulitan menanggung biaya sertifikasi dan kurangnya insentif harga.
“Nah kenapa petani kakao nggak banyak fermentasi? Karena harga yang fermentasi dan non [fermentasi] ini hampir nggak jauh beda. Jadi nggak ada insentif atas usaha petani yang effort lebih melakukan fermentasi,” ungkapnya.
Untuk itu, dia menilai perlu ada skema perbedaan harga agar petani kakao mau melakukan fermentasi, sehingga menjadi daya tarik bagi petani untuk beralih ke produksi yang berkualitas.
