Dari Civic Virtue ke Viral Culture: Krisis Moral Demokrasi Indonesia Nasional 23 Oktober 2025

Dari Civic Virtue ke Viral Culture: Krisis Moral Demokrasi Indonesia
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        23 Oktober 2025

Dari Civic Virtue ke Viral Culture: Krisis Moral Demokrasi Indonesia
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
DEMOKRASI
sejatinya lahir dari kesadaran moral, bukan sekadar dari sistem hukum dan prosedur politik. Ia bukan mesin suara, melainkan cermin jiwa publik. Dalam kerangka itulah Michael J. Sandel—filsuf politik dari Harvard—menegaskan bahwa demokrasi akan kehilangan jiwanya ketika warga berhenti menjadi warga.
Dalam bukunya
Democracy’s Discontent: America in Search of a Public Philosophy
(1996), Sandel menulis bahwa demokrasi tidak akan hidup tanpa warga yang peduli pada kebaikan bersama (
common good
), tanpa keberanian untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik. Bagi Sandel, demokrasi bukan hanya soal siapa yang menang dalam pemilihan, melainkan bagaimana warga menimbang dan memperdebatkan nilai-nilai moral yang mengikat mereka.
Namun di Indonesia hari ini, demokrasi seolah bergerak menjauh dari akar moral itu. Ia lebih menyerupai arena citra ketimbang ruang kebajikan publik. Demokrasi kita kini berdenyut di layar ponsel, diukur bukan oleh argumentasi, melainkan oleh jumlah
likes
dan
shares
. Dari
civic virtue
, kita jatuh ke dalam
viral culture
.
Budaya politik kini beralih wajah. Bukan lagi gagasan yang bernalar atau kebijakan yang berbasis publik yang menjadi mata uang demokrasi, melainkan sensasi dan daya sebarnya. Dalam ruang digital yang dangkal, politik dikemas seperti hiburan. Michael J. Sandel dalam
What Money Can’t Buy: The Moral Limits of Markets
(2012) memperingatkan, ketika segala hal diukur dengan logika pasar—termasuk politik—maka moralitas publik akan terkikis.
Kita bukan lagi hidup dalam ekonomi pasar (
market economy
), melainkan dalam masyarakat pasar (
market society
) yang menilai segalanya dengan harga dan popularitas. Kini, logika pasar itu berlipat dalam dunia digital. Apa yang viral dianggap benar; apa yang populer dianggap mewakili suara rakyat. Demokrasi yang dulu diharapkan memperluas partisipasi kini justru melahirkan bentuk baru oligarki—oligarki algoritmik.
Dalam tatanan seperti ini, warga kehilangan kemampuan untuk membedakan antara yang penting dan yang ramai, antara opini dan kebenaran. Demokrasi bergeser dari perdebatan gagasan menjadi perlombaan atensi.
Sandel menolak gagasan bahwa politik harus netral terhadap moralitas. Dalam
Liberalism and the Limits of Justice
(1982), ia mengkritik liberalisme yang memisahkan politik dari perdebatan tentang nilai. Demokrasi, katanya, justru menuntut kita berbicara tentang kebaikan bersama, bukan menghindarinya. Kritik ini menemukan gema yang kuat di Indonesia.
Politik kita hari ini kehilangan keberanian moral untuk membicarakan nilai-nilai publik. Partai politik lebih sibuk menimbang peluang elektoral daripada memperdebatkan keadilan. Kampanye lebih banyak mengobral janji ketimbang gagasan. Dalam konteks itu, kita menyaksikan apa yang oleh Sandel disebut sebagai “kemiskinan kehidupan publik”—sebuah kondisi ketika warga berhenti memandang diri sebagai bagian dari keseluruhan yang lebih besar.
Warga hanya melihat politik sebagai jalan untuk keuntungan pribadi, sementara negara memperlakukan rakyat sebagai pasar suara. Akibatnya, demokrasi kehilangan kedalaman etik. Ia berubah menjadi ritual lima tahunan yang dirayakan tanpa kesadaran moral.
Demokrasi, bagi Sandel, adalah “a way of life.” Dalam kuliah
The Lost Art of Democratic Debate
(Harvard, 2018), ia—mengutip John Dewey—menyebut demokrasi bukan hanya sistem pemerintahan, melainkan cara hidup yang menuntut kebajikan publik. Namun, di Indonesia, ruang hidup demokrasi itu semakin sempit. Ruang publik yang dulu dibangun melalui media, kampus, dan forum warga kini tergantikan oleh linimasa yang gaduh.
Kita tidak lagi berdialog, melainkan berteriak. Tidak lagi mendengarkan, melainkan menunggu giliran membantah. Dalam suasana seperti itu, akal sehat kalah oleh kecepatan, kesabaran kalah oleh algoritma, dan moralitas tenggelam dalam arus komentar. Demokrasi kehilangan ruang untuk mendewasa.
Sandel mengingatkan, demokrasi hanya akan bertahan jika warga mampu berbicara tentang perbedaan dengan hormat dan akal budi. Tapi di negeri ini, perbedaan sering diterjemahkan sebagai permusuhan. Politik kita kehilangan seni berbicara dengan yang tak sependapat.
Dalam
What Money Can’t Buy
(2012), Sandel menulis: “Kita telah bergeser dari ekonomi pasar menjadi masyarakat pasar.” Dalam masyarakat pasar, kata Sandel, hampir segala hal diperjualbelikan—termasuk nilai, suara, dan kepercayaan. Fenomena itu kini begitu nyata di Indonesia. Politik diatur dengan logika dagang. Popularitas menjadi komoditas yang dipasarkan lewat biro iklan digital. Suara rakyat dihitung seperti saham. Bahkan kebaikan pun ditentukan oleh algoritma yang mempromosikannya.
Ketika warga diperlakukan sebagai konsumen, maka politik kehilangan dimensi pengabdian. Kita memilih bukan karena keyakinan moral, tetapi karena iming-iming manfaat jangka pendek. Kita terpesona pada pencitraan, bukan integritas. Dalam tatanan seperti ini, demokrasi menjadi pameran komoditas, bukan forum kebaikan bersama.
Sandel percaya, demokrasi yang sehat memerlukan warga yang berjiwa publik—yang peduli pada nasib bersama. Ia menyebutnya
civic virtue
: kebajikan kewargaan yang membuat individu bersedia melampaui kepentingannya sendiri. Sayangnya, di Indonesia, identitas kewargaan itu makin pudar. Kita lebih mengenal diri sebagai “netizen” ketimbang “citizen”.
Rasa tanggung jawab moral terhadap republik digantikan oleh reaksi instan di media sosial. Padahal, dalam
Democracy’s Discontent
(1996), Sandel menulis: “Kebebasan sejati hanya mungkin tumbuh bila warga ikut serta menentukan arah komunitasnya.” Demokrasi tanpa
civic virtue
hanya melahirkan warga yang apatis atau emosional. Kita menonton negara seperti menonton drama: kadang marah, kadang tersentuh, tetapi jarang bergerak.
Sandel menyebut demokrasi membutuhkan
public philosophy
—filsafat publik—yang menuntun arah moral suatu bangsa. Filsafat publik bukan doktrin agama, melainkan kesadaran bersama tentang apa yang baik bagi kita semua. Sayangnya, narasi itu nyaris hilang dari kehidupan politik Indonesia. Politik kini lebih sering bicara tentang logistik ketimbang logika moral. Pertumbuhan ekonomi dan elektabilitas menggantikan perdebatan tentang keadilan.
Reformasi politik memang melahirkan kebebasan, tapi belum membangun kesadaran etis tentang kebebasan itu sendiri. Kita masih berdebat tentang mekanisme kekuasaan, tetapi jarang merenungkan tujuan moral dari kekuasaan itu. Tanpa filsafat publik, demokrasi kehilangan arah. Ia berjalan, tapi tidak tahu ke mana.
Media sosial awalnya menjanjikan demokratisasi informasi. Namun dalam praktiknya, ia juga mempersempit ruang akal budi. Ketika algoritma menentukan apa yang kita lihat, maka ruang publik dikendalikan bukan oleh kesadaran, melainkan oleh kode. Dalam wawancara di BBC (2021), Sandel memperingatkan bahaya “teknokratisasi moralitas”: “Ketika keputusan politik diserahkan pada algoritma, kita kehilangan agensi moral.” Hal ini tampak nyata di Indonesia.
Politik dijalankan seperti manajemen konten. Pemimpin tidak lagi berbicara tentang nilai, melainkan tentang
branding
. Politik kehilangan arah moralnya karena diatur oleh logika
engagement
. Kita hidup dalam masyarakat yang sibuk menampilkan diri, tapi malas merefleksikan makna. Demokrasi digital tanpa refleksi moral hanya menghasilkan kebisingan kolektif.
Sandel tidak menolak pasar atau teknologi. Ia hanya memperingatkan bahwa tanpa kebajikan publik, keduanya akan menelan demokrasi. Warga negara, katanya, harus memiliki tanggung jawab moral, bukan sekadar menuntut hak.
Indonesia sebenarnya memiliki warisan nilai yang dekat dengan
civic virtue
: gotong royong, musyawarah, dan rasa kebersamaan. Nilai-nilai itu adalah fondasi moral demokrasi. Namun, dalam arus
viral culture
, nilai-nilai tersebut memudar—tergantikan oleh egoisme politik dan budaya kompetisi personal. Demokrasi seharusnya menjawab bukan hanya pertanyaan “siapa yang berkuasa?”, tapi juga “untuk apa kekuasaan digunakan?”. Tanpa kesadaran moral itu, demokrasi hanya menjadi pesta prosedural yang kehilangan makna.
Kita hidup di zaman ketika kebenaran harus berjuang untuk menjadi viral, sementara kebohongan dengan mudah menjadi tren. Di tengah kebisingan itu, Sandel mengingatkan bahwa tugas warga negara bukanlah menjadi penonton, melainkan penjaga moral ruang publik.
Demokrasi Indonesia belum mati, tapi ia kehilangan arah moralnya. Untuk menemukannya kembali, kita harus menyalakan kembali obor
civic virtue
—keberanian untuk berpikir, berbicara, dan bertindak demi kebaikan bersama. Sandel menulis dalam Democracy’s Discontent (1996): “Kita membutuhkan ruang di mana warga dapat berbicara tentang hal-hal yang penting, bukan hanya tentang apa yang menguntungkan.”
Demokrasi bukan sekadar siapa yang memerintah, tetapi bagaimana kita hidup bersama dalam keadaban. Dari
civic virtue
ke
viral culture
, perjalanan ini adalah cermin: apakah kita masih warga yang berpikir, atau sekadar konsumen politik yang menunggu tontonan berikutnya. Demokrasi tanpa kebajikan hanyalah pasar tanpa nurani. Dan ketika pasar menggantikan nurani, bangsa kehilangan jiwa.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.