Menanti Kejujuran Nasional 22 Oktober 2025

Menanti Kejujuran
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        22 Oktober 2025

Menanti Kejujuran
Pegiat literasi, praktisi dan pemerhati pendidikan
KEJUJURAN
adalah fondasi moral yang menentukan jatuh-bangunnya suatu bangsa. Mohammad Hatta, dalam buku Memoir Bung Hatta (1979) berkata, “Kejujuran adalah kekuatan rohani yang membebaskan manusia dari belenggu kepalsuan. Ia merupakan mata uang yang berlaku di seluruh dunia.” Hatta meyakini bahwa integritas lebih bernilai daripada segala kekayaan.
Krisis moral yang terjadi pada tata kelola kehidupan sosial, pemerintahan, dan bisnis hari ini bukan semata-mata disebabkan kurangnya kecerdasan atau sumber daya, melainkan lebih karena merosotnya nilai kejujuran sebagai panduan bertindak.
Dalam sejarah kekuasaan, kejatuhan imperium besar dari Romawi hingga keruntuhan dinasti modern bukan semata karena serangan militer, melainkan hilangnya kepercayaan sebagai akibat kebohongan yang sistemik. Kejujuran bukan hanya menyangkut sikap pribadi, melainkan kesadaran kolektif yang menentukan martabat publik dan legitimasi kekuasaan.
Kejujuran dilihat sebagai keutamaan tertinggi dan arah menuju kebenaran. Immanuel Kant menyatakan bahwa berbohong, apa pun alasannya, adalah pelanggaran terhadap martabat manusia karena merusak rasionalitas dan kebebasan moral.
Dalam tradisi Timur, Chaturvedi Badrinath (2006) dalam ”
The Mahabharata: An Inquiry into the Human Condition
” menjelaskan Yudhistira merupakan perwujudan nilai satya (kejujuran) dan dharma. Puntadewa atau Yudhistira dari kisah Mahabharata itu diyakini sebagai simbol kejujuran.
Yudhistira berprinsip bahwa kebohongan sekecil apa pun dapat meruntuhkan harmoni kosmos. Meskipun harus kehilangan kerajaan dan menghadapi penderitaan, ia tidak pernah melepaskan komitmennya pada kebenaran. Kisah ini memberi pelajaran bahwa kejujuran bukan strategi pragmatis, melainkan jalan hidup yang harus dilalui seorang pemimpin sejati.
Tokoh-tokoh agama pun menempatkan kejujuran sebagai inti keteladanan. Nabi Muhammad SAW dikenal dengan gelar Al-Amin, artinya dapat dipercaya karena kejujurannya, bahkan sebelum diangkat menjadi nabi (Imam Al-Bukhari dalam Shahih Al-Bukhari). Gelar itu tidak hanya diberikan oleh pengikutnya saja, tetapi juga dari masyarakat luas, termasuk orang-orang yang menentangnya.
Yesus Kristus berkata, “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak . Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat” (Matius 5:37). Hal ini menegaskan bahwa integritas bukanlah pilihan retoris, melainkan cermin kemurnian jiwa.
Menurut Bhagavad Gita, satya atau kejujuran ditegaskan sebagai kewajiban spiritual utama manusia dalam mencapai kedamaian dan pembebasan (Radhakrishnan, The Bhagavad Gita, 1948).
Pandangan ini sejalan dengan ajaran agama-agama besar yang menempatkan kejujuran bukan sekadar etika, tetapi jalan menuju keselamatan (Parrinder, World Religions, 1971). Dalam ruang kekuasaan, kejujuran merupakan pilar inti dari etika kepemimpinan.
Mahatma Gandhi dalam “
The Moral and Political Thought of Mahatma Gandhi
” (1973) menegaskan, “Truth is God,” kebenaran adalah Tuhan. Baginya, politik minus moral adalah sumber bencana. Selain itu, Nelson Mandela menegaskan bahwa pengakuan yang jujur atas kesalahan masa lalu bukanlah pelemahan, melainkan langkah penting dalam memulihkan martabat bangsa.
Hal ini membuktikan bahwa kekuatan pemimpin tidak terletak pada kemahirannya membungkus kelemahan, tetapi keberaniannya dalam menghadapi kenyataan seperti apa adanya. Kejujuran moral tidak menjadikan kekuasaan berubah sebagai alat dominasi, tetapi menjadi sarana pelayanan.
Abdurrahman Wahid dalam buku “Tuhan Tidak Perlu Dibela” (1999), menuliskan bahwa yang harus dibela bukanlah kebenaran secara abstrak, melainkan kemanusiaan yang tertindas oleh kebohongan dan ketidakadilan. Ketika itu, Gus Dur tidak ragu membuka fakta meski tidak populer secara politik. Beliau meyakini bahwa legitimasi pemimpin lahir dari kejujuran hati, bukan akumulasi dari dukungan semu.
Dalam amanatnya, Panglima Besar Jenderal Soedirman kepada Tentara Indonesia (dalam buku Soedirman: Sejarah dan Teladan, 1964) menyerukan, “Tentara hanya mempunyai kewajiban satu, yaitu mempertahankan Negara Republik Indonesia. Jangan sekali-kali mengkhianati negara!” Pesan ini tidak sekadar patriotik tetapi juga merupakan seruan untuk setia pada kebenaran yang menjadi dasar perjuangan.
Hannah Arendt dalam esainya “Lying in Politics” (1971), mengatakan bahwa kebohongan politik yang terorganisir merupakan ancaman paling dahsyat terhadap demokrasi karena menghancurkan dasar kebenaran publik yang menjadi fondasi deliberasi demokratis.
Jika kebijakan didirikan di atas ilusi, masyarakat akan kehilangan arah moral dan kompas masa depan. Arendt menamai fenomena ini dengan “banalitas kebohongan,” yaitu kebohongan yang sudah dianggap wajar sehingga tidak lagi menimbulkan rasa bersalah.
Indonesia hari ini senyatanya berada dalam persimpangan penting, yaitu memilih kejujuran sebagai fondasi transformasi atau terus membiarkan kebohongan sebagai budaya yang diberi legitimasi politik.
Kejujuran tidak hanya sebagai instrumen administratif. Ia adalah kekuatan spiritual. Dalam filosofi Jawa, keutamaan kepemimpinan terletak pada keselarasan antara kehendak, ucapan, hati, dan tindakan. Tokoh Puntadewa tidak dikagumi karena kehebatannya berperang, tetapi karena kejernihan hatinya.
Filosof kontemporer Indonesia, Franz Magnis-Suseno, dalam Etika Politik (1987), mengatakan bahwa pemimpin yang jujur tidak gentar kehilangan jabatannya karena ia mengutamakan tanggung jawab moral yang lebih tinggi daripada sekadar mempertahankan kekuasaan. Maka, kejujuran menjadikan kekuasaan bukanlah wahana manipulasi, melainkan sebagai jalan pengabdian.
Dalam catatan sejarah Indonesia, pemimpin yang menjaga integritas membangun fondasi kepercayaan yang tahan lama. Hatta rela mundur dari jabatan wakil presiden ketika merasa bahwa kejujurannya bersinggungan dengan kebijakan yang ia anggap tidak sejalan dengan moral publik.
Kejujuran itu tidak meniadakan capaian, tetapi memastikan setiap capaian sungguh-sungguh berimplikasi positif pada kehidupan rakyat. Dalam relasi sosial, kejujuran merupakan perekat kehidupan antarmanusia. Jika tidak ada kejujuran, maka tidak ada rasa aman, tidak ada ketenangan batin, dan tidak ada masa depan yang bisa direncanakan dan dijalani bersama.
Filsuf Konfusius dalam teks klasik Analek Konfusius (The Analects, kitab XII bab 12 ayat 7), berkata, “Jika suatu negara kehilangan senjata, ia masih bisa bertahan; jika kehilangan pangan, masih ada harapan; tetapi jika kehilangan kepercayaan rakyat, negara itu akan hancur.” Kata-kata ini menjelaskan bahwa kejujuran adalah modal politik yang lebih kuat daripada kekuatan militer maupun kekuatan ekonomi.
Agar kejujuran kembali menjadi nilai publik, perlu dibangun sistem yang bisa mewujudkan transparansi dan meniadakan atau setidaknya bisa meminimalkan peluang manipulasi. Pemimpin tidak hanya dinilai dari pidatonya, tetapi melalui indikasi dampak sosial yang bisa diverifikasi.
Pemanfaatan teknologi digital dewasa ini memungkinkan masyarakat secara objektif melihat data secara terbuka, mengevaluasi keputusan, dan mengawasi jalannya pemerintahan. Di Jepang misalnya, pemerintah membuat laporan dalam format yang mudah diakses publik. Laporan itu dilengkapi dengan indikator keberhasilan dan kegagalan. Transparansi ini tidak melemahkan pemerintah, tetapi justru memperkuat legitimasi karena rakyat bisa melihat kinerja konkret, bukan sebatas retorika atau “omon-omon kosong”.
Hari ini kita ditantang untuk mampu membangun keberanian moral di tengah budaya pragmatisme. Selama ini, kejujuran acapkali dianggap merugikan baik secara politis maupun ekonomi. Namun, jika disimak dengan baik, sejarah membuktikan sebaliknya: kejujuran menciptakan reputasi jangka panjang dan membangun stabilitas sosial.
Untuk itu, generasi penerus negeri ini perlu dibekali pendidikan karakter yang berbasis integritas. Harus ada keteladanan dari para pemimpin. Seperti kata Ki Hadjar Dewantara, “Ing ngarsa sung tulada,” di depan memberi teladan. Tanpa teladan kejujuran dari para pemimpin, bangsa yang besar ini akan kehilangan arah moral.
Kejujuran adalah cermin kemanusiaan. Ia menempatkan pemimpin dan rakyat dalam relasi yang sejajar dan saling mempercayai untuk tujuan bersama. Kejujuran adalah napas demokrasi, sumber kekuatan batin, dan cahaya keadilan suatu bangsa.
Tokoh Puntadewa dalam kisah klasik mengajarkan kejujuran sebagai kehormatan, para tokoh dalam agama menegaskan kejujuran sebagai jalan kebenaran, dan para pemimpin besar dunia membuktikan kejujuran sebagai energi transformatif. Bangsa yang menyiapkan masa depan melalui kejujuran adalah bangsa yang membangun peradaban yang bermartabat.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.