Bondowoso (beritajatim.com) – Kerja sama tiga kepala daerah di kawasan Tapal Kuda — Situbondo, Bondowoso, dan Jember — yang resmi ditandatangani Kamis (16/10/2025) di Pendopo Raden Bagus Assra, Bondowoso, menjadi peristiwa politik pembangunan yang menarik dicermati.
Dokumen berjudul Kesepakatan Bersama tentang Penyelenggaraan Pemerintahan, Pembangunan, Kemasyarakatan, dan Pelayanan Publik Terintegrasi Berbasis Aglomerasi itu menandai niat besar membangun konektivitas ekonomi dan pemerataan pembangunan di kawasan timur Jawa Timur.
Bupati Bondowoso, Abdul Hamid Wahid, menegaskan bahwa aglomerasi ini bukan sekadar simbol kolaborasi, tetapi langkah nyata menuju industrialisasi lokal.
“Kesepakatan ini bertujuan menjadikan Situbondo, Bondowoso, dan Jember sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru berbasis potensi lokal dan konektivitas kawasan. Melalui integrasi rantai pasok, pengolahan, dan pemasaran antarwilayah, kerja sama ini mendorong industrialisasi lokal yang berkelanjutan dan inklusif,” ujarnya dalam sambutan.
Ia juga menyebutkan kerja sama ini diarahkan untuk meningkatkan kunjungan wisata, memperkuat ketahanan pangan, dan memaksimalkan konektivitas darat, laut, dan udara.
Bagi Hamid, kerja sama ini merupakan bentuk dukungan nyata terhadap visi pemerataan pembangunan Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Dari arah selatan, Bupati Jember Muhammad Fawait membawa optimisme. Ia menilai kolaborasi ini bisa menjadi model kerja sama antar daerah yang inspiratif.
“Kolaborasi ini akan mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan di Jawa Timur. Kawasan ini tidak hanya harus kuat secara ekonomi, tetapi juga tangguh dalam pelayanan publik dan ketahanan pangan,” ujarnya.
Sementara dari pesisir utara, Bupati Situbondo Yusuf Rio Wahyu Prayogo melihat peluang besar di sektor industri berbasis komoditas lokal dan pariwisata lintas wilayah.
“Aglomerasi ini membuka peluang untuk mendorong industri lokal dan memperkuat sektor pariwisata. Harapannya, dampaknya bisa langsung dirasakan masyarakat di kawasan Tapal Kuda,” katanya.
Namun di balik semangat sinergi itu, realitas implementasi lintas daerah seringkali tidak sesederhana teks MoU.
Tiga kabupaten ini memiliki struktur APBD, prioritas pembangunan, dan tantangan sosial ekonomi yang berbeda.
Meski Hamid Wahid menegaskan bahwa kolaborasi akan diperkuat dengan tim koordinasi bersama, pertanyaan publik tetap terbuka: sejauh mana “semangat aglomerasi” bisa melampaui sekat birokrasi dan ego sektoral?
Kerja sama serupa di berbagai wilayah lain di Indonesia kerap berhenti di meja rapat karena lemahnya mekanisme tindak lanjut, terutama ketika kepentingan politik dan alokasi anggaran daerah tidak berjalan seiring.
Tantangan itu pula yang akan dihadapi Tapal Kuda — kawasan yang selama ini menjadi lumbung pangan dan wisata, namun masih bergulat dengan disparitas pembangunan antara pesisir dan pegunungan.
Kesepakatan ini berlaku lima tahun dan dapat diperpanjang. Pendanaannya bersumber dari APBD masing-masing daerah, disesuaikan dengan kewenangan dan fungsi.
Secara administratif, langkah ini sah. Secara politik, ia berani. Tetapi secara substantif, hasilnya baru akan terlihat ketika program aglomerasi ini benar-benar menyentuh masyarakat — bukan berhenti sebagai dokumen kolaborasi yang rapi di map seremonial. (awi/ted)
