DPR Dukung Pembentukan Dirjen Pesantren Buntut Tragedi Al Khoziny

DPR Dukung Pembentukan Dirjen Pesantren Buntut Tragedi Al Khoziny

JAKARTA – Tragedi robohnya salah satu bangunan di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny, Sidoarjo, menjadi momentum bagi DPR RI untuk mendorong perombakan kelembagaan di Kementerian Agama (Kemenag). Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Singgih Januratmoko, mengusulkan agar Direktorat Pesantren di bawah Kemenag ditingkatkan statusnya menjadi Direktorat Jenderal (Ditjen) khusus untuk memperkuat pembinaan dan pengawasan.

Singgih menilai pembentukan lembaga baru ini sangat mendesak mengingat besarnya jumlah dan peran historis pesantren di Indonesia.

“Di Indonesia ada sekitar 5 juta santri dan lebih dari 42 ribu pondok pesantren aktif. Jika menjadi Ditjen, lembaga ini akan lebih berdaya dalam melindungi, membina, dan memajukan pesantren,” ujar Singgih kepada wartawan, Kamis (16/10).

Tragedi di Sidoarjo, menurut Singgih, adalah peringatan keras akan kerentanan tata kelola dan infrastruktur pesantren. Peningkatan kualitas, standar bangunan, dan pengawasan teknis adalah keharusan agar peristiwa serupa tidak terulang.

“Pesantren memiliki akar sejarah yang kuat dan menjadi benteng pembentukan karakter bangsa. Negara harus hadir memberi dukungan nyata,” katanya.

Ditjen Pesantren: Solusi Pemerataan dan Transparansi Dana

Legislator Golkar dari Dapil Jawa Tengah V itu menilai, keberadaan Ditjen Pesantren akan memberikan posisi yang lebih setara bagi lembaga pendidikan Islam itu dalam struktur Kemenag. Hal ini memungkinkan program bantuan, pelatihan, serta audit teknis bangunan dapat tersalurkan dengan lebih efektif dan transparan.

“Kalau ada Ditjen khusus, setiap pesantren bisa mendapat akses langsung ke tenaga ahli, inspeksi bangunan, hingga dana perbaikan yang transparan dan tepat sasaran,” bebernya.

Singgih juga menyoroti adanya ketimpangan penyaluran dana untuk pesantren, terutama dari Dana Abadi Pesantren yang dikelola bersama LPDP. Menurutnya, dana tersebut selama ini lebih banyak difokuskan pada beasiswa, sementara alokasi untuk pembangunan fisik dan rehabilitasi masih sangat kecil.

Ia mengungkapkan bahwa imbal hasil Dana Abadi Pendidikan dan Pesantren pada 2023 mencapai Rp9,3 triliun, namun hanya sekitar Rp250 miliar yang disalurkan ke pesantren.

“Padahal idealnya, Rp900 miliar perlu dialokasikan untuk 5 juta santri agar manfaatnya lebih luas, tidak hanya untuk beasiswa, tetapi juga pembangunan dan pemeliharaan fasilitas,” ujarnya.

Dorong Kualitas SDM Pesantren

Selain aspek kelembagaan dan pendanaan, Singgih menilai penguatan SDM pesantren juga sangat mendesak. Ia mengingatkan bahwa pesantren adalah wajah asli pendidikan Islam Indonesia, tetapi perhatian pemerintah terhadapnya masih belum seimbang.

“Masih banyak pesantren yang dikelola secara swadaya dengan fasilitas terbatas, teknologi minim, dan guru yang belum tersertifikasi. Data Balitbang Kemenag mencatat lebih dari 60 persen guru di pesantren belum bergelar sarjana,” jelasnya.

Singgih menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren sudah memberikan dasar hukum bagi negara untuk mendukung pesantren. Pembentukan Ditjen khusus, menurutnya, tidak akan menambah beban Kemenag, apalagi urusan haji kini sudah ditangani Kementerian Haji, namun justru akan membuat pembinaan pesantren lebih fokus dan efektif.