Waswas Dejavu Booming Nikel, Hilirisasi Bauksit Perlu Strategi Pengendalian

Waswas Dejavu Booming Nikel, Hilirisasi Bauksit Perlu Strategi Pengendalian

Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku usaha menilai pemerintah perlu menjaga keseimbangan antara produksi bauksit dan alumina serta memastikan konsistensi regulasi untuk memperkuat daya saing industri alumina nasional di tengah upaya hilirisasi mineral.

Tingginya minat investor asal China untuk masuk ke rantai hilirisasi bauksit dalam negeri membuat pelaku usaha waswas. Di satu sisi, meningkatnya investasi dapat menggairahkan hilirisasi bauksit yang selama ini masih stagnan. Namun, di sisi lain, semarak investasi smelter tanpa pengendalian berpotensi membuat harga bauksit dan produk olahannya, seperti alumina dan aluminium bisa jatuh di pasar global sebagaimana yang terjadi pada komoditas nikel. 

Ketua Umum Asosiasi Bauksit Indonesia (ABI) Ronald Sulistyanto mengatakan, langkah pemerintah mendorong hilirisasi bauksit menjadi alumina harus diikuti dengan pengaturan produksi yang seimbang agar tidak menimbulkan kelebihan pasokan di pasar.

“Jangan terlalu banyak produksi alumina. Produksi alumina itu harus mengejawantahkan produksi bauksitnya. Kalau alumina oversupply, harga pasar dunia bisa turun,” ujar Ronald kepada Bisnis, Rabu (15/10/2025).

Menurutnya, keseimbangan antara ketersediaan bauksit dan kapasitas produksi alumina menjadi faktor penting untuk menjaga stabilitas harga dan keberlanjutan industri.

“Kalau alumina banyak, otomatis kebutuhan bauksit juga meningkat. Jadi harus seimbang antara output alumina dengan supply bauksitnya,” tambahnya.

Ronald pun menilai pemerintah perlu berhati-hati dalam menentukan volume produksi bauksit agar tidak menciptakan ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran di pasar.

Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia memastikan harga alumina tidak akan jatuh meski banyak investor berencana membangun smelter di Tanah Air.

Menurut Bahlil, kebutuhan produk turunan bauksit di dalam negeri masih jauh lebih tinggi dibandingkan kapasitas industri yang ada saat ini. Kebutuhan tersebut masih dipenuhi dari impor sehingga kekhawatiran oversupply alumina belum akan terjadi. 

“Sekarang kita masih banyak impor untuk produk turunan dari bauksit, seperti aluminium. Jadi antara kebutuhan dalam negeri dan kapasitas industri, kebutuhannya masih lebih besar. Jadi tidak ada masalah,” kata Bahlil di Jakarta, Rabu (15/10/2025).

Dia pun menegaskan komoditas bauksit menjadi salah satu fokus utama pemerintah dalam mendorong agenda hilirisasi mineral dan batu bara (minerba) nasional. Pemerintah telah menghentikan ekspor bahan mentah bauksit sejak 2023 untuk mempercepat tumbuhnya industri pengolahan di dalam negeri.

“Bauksit ini salah satu komoditas yang akan kita dorong untuk hilirisasi. Sekarang ekspor bahan mentahnya sudah dilarang. Ini bagian dari upaya untuk meningkatkan investasi,” kata Bahlil.

Menurutnya, pemerintah menargetkan investasi di sektor hilirisasi minerba tahun ini mencapai sekitar US$7 miliar hingga US$8 miliar. Adapun, hingga Agustus 2025, realisasi investasi tercatat telah mencapai kisaran US$3 miliar hingga US$4 miliar.

“Realisasinya sampai Agustus sekitar US$3 miliar sampai US$4 miliar. Ini bagian dari langkah pemerintah untuk terus mendorong hilirisasi bauksit,” ujarnya.

Potensi Serbuan Investasi China

Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) Melati Sarnita mengungkapkan bahwa Indonesia berpotensi kebanjiran pasokan aluminium seiring investasi perusahaan-perusahaan China yang mulai membangun smelter aluminium di Tanah Air. 

Langkah perusahaan China membangun smelter di Indonesia bukan tanpa alasan. Melani menjelaskan, para perusahaan asal Negeri Tirai Bambu itu sudah tak bisa membangun smelter baru di negara asal mereka. Pasalnya, pemerintah China hanya mengizinkan smelter aluminium untuk memproduksi maksimal 45 juta ton per tahun.

“Di atas itu dia sudah tidak boleh membangun di China. Makanya banyak pemain-pemain China akhirnya membangun smelter di Indonesia untuk aluminium,” ucap Melati dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VI DPR RI, Senin (29/9/2025).

Selain itu, perusahaan China memlilih membangun smelter di Indonesia juga karena RI telah melarang ekspor bauksit mentah sebagai bahan baku utama alumina.

“Jadi di alumina refinery sekarang kita lihat peningkatan pemakaian bauksitnya cukup tinggi,” kata Melati.

Sementara itu, Inalum saat ini juga tengah menyiapkan smelter aluminium baru di Mempawah, Kalimantan Barat dengan kapasitas produksi hingga 600.000 ton per tahun yang ditargetkan rampung pada 2029. Pembangunan smelter baru ini akan meningkatkan kapasitas produksi aluminium perseroan menjadi 900.000 ton per tahun. 

Dengan potensi pasokan berlebih aluminium ke depan, Melati menuturkan, 30% dari total produksi aluminium perseroan pada 2029 akan dialokasikan untuk ekspor. 

“Jadi dalam proyeksi kita sendiri ketika kita mencapai di 900.000 itu ada sekitar 30% yang kita alokasikan untuk ekspor. Jadi tidak hanya untuk dalam negeri,” ujarnya.

Sejalan dengan upaya peningkatan produksi aluminium, anak usaha MIND ID itu juga telah mempercepat penyelesaian pembangunan Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) Fase I berkapasitas 1 juta ton alumina per tahun di Mempawah, Kalimantan Barat pada tahun ini.

Selain itu, pengembangan SGAR Fase II juga tengah dipersiapkan dan akan menambah kapasitas produksi alumina sebesar 1 juta ton per tahun pada 2028.

Aturan HPM

Di sisi lain, pelaku usaha juga menekankan pentingnya konsistensi kebijakan agar iklim investasi di sektor pertambangan bauksit tetap kondusif. Ketua Umum Asosiasi Bauksit Indonesia (ABI) Ronald Sulistyanto menyoroti seringnya perubahan aturan, mulai dari harga patokan mineral (HPM) hingga jangka waktu rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB), yang dinilai membuat investor ragu menanamkan modal di Indonesia.

“Peraturan jangan sampai berubah-ubah. Baru tanda tangan belum kering tintanya, sudah diubah lagi. Investor pasti bertanya, jaminan saya apa? Dalam masa izin usaha saya, berapa kali aturan berubah?” katanya.

Dia berharap pemerintah dapat memperkuat kepastian hukum dan arah kebijakan jangka panjang sektor bauksit dan alumina. Dengan demikian, hilirisasi mineral yang sedang digencarkan pemerintah tidak hanya meningkatkan nilai tambah di dalam negeri, tetapi juga menarik investasi baru ke sektor pengolahan mineral.

“Kunci daya saing industri alumina bukan hanya pada produksi, tapi juga pada kepastian berusaha. Kalau regulasinya stabil dan terprediksi, investor pasti datang,” tutup Ronald.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA) Hendra Sinadia menilai pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan HPM untuk komoditas bauksit guna memperkuat daya saing hilirisasi alumina di dalam negeri.

Dia mengatakan, saat ini industri bauksit masih menghadapi sejumlah hambatan dalam mengembangkan proyek hilirisasi. Salah satunya adalah ketentuan HPM yang dinilai belum sepenuhnya mendukung keekonomian rantai pasok dari tambang hingga smelter.

“Menurut informasi dari pengusaha bauksit, masih terkendala di HPM. Pasokannya berlebih, harga turun. Jadi, hal itu cukup memengaruhi kelanjutan proyek hilirisasi,” ujar Hendra.

Asal tahu saja, pemerintah kini memperbolehkan transaksi antara penambang dengan smelter dengan mengacu tarif di bawah HPM. Namun, pengenaan royalti, perpajakan, hingga iuran produksi tetap mengacu pada HPM.

Hal itu sebagaimana diatur dalam Kepmen ESDM Nomor 268.K/MB.01/MEM.B/2025 tentang Pedoman Penetapan Harga Patokan untuk Penjualan Komoditas Mineral Logam dan Batu Bara yang diteken pada 8 Agustus 2025.

Adapun, aturan itu dibuat demi menjaga harga mineral dan batu bara agar tak turun ketika ekspor melemah, serta mengoptimalkan penerimaan negara. Di sisi lain, aturan itu malah merugikan penambang bauksit lantaran saat ini bauksit dilarang untuk diekspor.

Aturan tersebut dinilai dapat membunuh penambang bauksit. Adapun, sejumlah kerugian dari aturan itu seperti kesulitan penambang untuk mendapat harga jual bauksit yang ekonomis, mengganggu kemampuan pendanaan untuk melaksanakan good mining practice, hingga menciptakan ketidakadilan dalam tata niaga mineral bauksit.

Hendra pun menjelaskan, beberapa fasilitas pemurnian (smelter) yang dibangun perusahaan tambang bersifat terintegrasi dengan tambangnya. Namun, apabila harga jual bauksit di tingkat tambang terlalu rendah, maka kelayakan finansial proyek smelter turut tertekan.

“Kalau tambangnya mereka produksi, tapi harganya rendah dan tidak ekonomis, kelanjutan pembangunan smelternya juga bisa terpengaruh,” tambahnya.

Hendra menilai, agar hilirisasi bauksit dapat berjalan berkelanjutan dan menarik investasi baru, pemerintah perlu memastikan kebijakan harga patokan mineral mencerminkan kondisi pasar dan biaya produksi yang wajar.

“Kalau dari pengusaha bauksit seperti itu, ya, yang harus diluruskan dulu memang soal HPM,” ujarnya.