Masih Adakah Empati untuk Rakyat? Nasional 16 Oktober 2025

Masih Adakah Empati untuk Rakyat?
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        16 Oktober 2025

Masih Adakah Empati untuk Rakyat?
Peneliti dan Penulis
BERBICARA
soal kebijakan publik, kini banyak negara bergerak cepat, sigap mengambil keputusan, dan agresif mengeksekusi program.
Namun, di balik laju yang terkesan impresif itu, muncul pertanyaan, apakah kecepatan ini disusun dengan peta empati terhadap kenyataan rakyat yang beragam, atau sekadar menegaskan kuasa negara atas kehidupan mereka? Apakah kebijakan dan empati sudah sejalan?
Setiap kebijakan dirancang untuk mengejar efisiensi birokrasi dan memperluas kendali negara, tapi nyaris tidak memperhitungkan suara publik sebagai dasar pengambilan keputusan.
Ruang dialog menyempit, partisipasi publik menurun, dan kebijakan sering kali dijalankan lebih cepat daripada pemahaman tentang siapa yang akan menanggung akibatnya.
Dalam satu tahun ini, yang terlihat bukan proses mendengarkan aspirasi publik secara mendalam, melainkan kecenderungan negara merumuskan kepentingan tanpa sentuhan empati.
Desain kebijakan yang berlandaskan empati berperan sebagai mekanisme rasional untuk memastikan kesalahan pada tahap awal tidak tumbuh menjadi struktur kebijakan yang mengakar dan sulit diperbaiki.
Paul Pierson (2000) menjelaskan konsep
sticky policy
atau kebijakan ‘lengket’, yakni kebijakan yang begitu dijalankan akan menciptakan lintasan institusional yang sulit dihentikan, bahkan ketika orientasi awalnya kehilangan relevansi.
Tanpa empati di tahap perumusan, kesalahan desain akan direplikasi birokrasi dan diperkuat oleh kepentingan politik hingga terpaksa dianggap wajar oleh publik.
Pemerintah tanpa rasa bersalah dapat terus mengklaim keberhasilan dari kebijakan yang sebenarnya salah sasaran, dibungkus narasi efektivitas dan ketegasan, sementara ruang koreksi melemah karena jejaring komunikasi politik menafsirkan ulang kegagalan sebagai keberanian.
Negara tangguh dalam memberi perintah, tetapi lemah dalam mendengarkan. Di atas kertas, target tercapai, tapi di lapangan ketegangan sosial justru meningkat.
Indikator administratif menunjukkan keberhasilan, sementara tekanan sosial terus membesar di bawah permukaan.
Akar persoalan ini bukan semata absennya empati, tetapi krisis orientasi dalam mendefinisikan kepentingan publik.
Prinsip klasik
salus populi suprema lex esto
, kesejahteraan rakyat sebagai hukum tertinggi, sering dikutip, tetapi jarang diterjemahkan menjadi praktik pemerintahan.
John Dewey (1954) menekankan bahwa cara pandang dan kebutuhan masyarakat akan selalu bervariasi tergantung tempat, waktu, dan kondisi yang mereka hadapi.
Ketika negara gagal membaca keragaman itu, ia berhenti memerintah kenyataan dan justru mulai memantulkan bayangan dirinya sendiri.
Jika kehidupan di pusat kekuasaan terlihat sejahtera, maka seluruh negeri dianggap sejahtera. Jika para menteri merasa tidak kekurangan, maka rakyat di bawah pun diasumsikan hidup dalam kecukupan.
Dalam situasi seperti ini, kebijakan kehilangan pijakan pada realitas sosial yang sesungguhnya.
Betapa sering keragaman itu gagal terbaca. Program nasional dirancang dengan standar seragam, di mana indikator kinerja diseragamkan, dan narasi kesejahteraan diulang dengan bahasa identik di semua provinsi.
Publik di kawasan industri berbeda dengan publik di daerah agraris. Ketika perbedaan tidak diakui, yang muncul bukan persatuan, melainkan keterasingan. Rakyat merasa diatur oleh sesuatu yang tidak mengenal mereka.
Kegagalan membaca keragaman publik kerap menghasilkan apa yang dalam literatur kebijakan publik disebut sebagai
malign policy
(Howlett, Leong, dan Legrand, 2025).
Istilah ini merujuk pada kebijakan yang tampak berpihak kepada rakyat, tetapi justru menimbulkan kerugian sosial karena salah membaca realitas.
Akar persoalannya terletak pada proses perumusan yang tertutup dan ukuran keberhasilan yang hanya didasarkan pada kelengkapan laporan administratif.
Sistem pemantauan lebih sibuk mengejar kesesuaian data daripada menggambarkan kondisi sosial yang sebenarnya.
Laporan negatif dipoles agar terlihat baik di meja pejabat, sementara evaluasi bergeser dari proses belajar menjadi sekadar pembenaran.
Selain itu, arah kebijakan semakin mudah berubah (reaktif) mengikuti tekanan politik jangka pendek. Prioritas fiskal bergeser berulang dari pangan ke pertahanan lalu ke proyek strategis nasional yang diperluas tanpa kajian sosial yang matang.
Ini menunjukkan hilangnya
epistemic consistency
, atau konsistensi pengetahuan dalam perumusan kebijakan.
Keputusan diambil bukan karena hasil pembelajaran sosial, tetapi karena tampak kuat di mata publik. Pola reaktif seperti ini melahirkan kebijakan yang hidup dari momentum politik, bukan dari refleksi rasional.
Ia menggerus
policy durability
, yakni ketahanan kebijakan untuk bertahan terhadap tekanan populisme dan perubahan arah politik.
Di bawah permukaannya terdapat
inherent vices
, cacat bawaan dalam struktur kebijakan yang membuat negara sulit belajar dari kesalahannya.
Saluran umpan balik berjalan satu arah dari bawah ke atas sehingga setiap lapisan terdorong menyenangkan atasan daripada melaporkan kenyataan.
Koordinasi antarkementerian sering berubah menjadi perebutan mandat, bukan penyatuan problem. Mekanisme partisipasi publik hadir dalam bentuk formalitas, daftar hadir lengkap tetapi substansi diskusi minim.
Dalam struktur seperti ini, kinerja administratif mudah diraih, sementara keberhasilan substantif mencakup keadilan, keamanan, dan keterjangkauan, tetap mengambang.
Akibatnya lahirlah
bad policy spiral
, lingkaran kebijakan buruk di mana kegagalan lama ditutup dengan kebijakan baru yang dibangun di atas logika sama.
Ketika kebijakan dikritik, responsnya bukan memperbaiki desain dan mekanisme pengawasan, melainkan menambah anggaran dan memperluas sasaran.
Misalnya, ketika kebijakan hilirisasi dikritik karena merusak lingkungan dan memicu konflik agraria, responsnya bukan menata ulang tata kelola, tetapi justru mempercepat dan memperbanyak izin baru.
Negara kehilangan kemampuan untuk berhenti, mengevaluasi, dan berbalik arah. Kesalahan terus bergerak maju, semakin rapi di atas kertas, semakin berat di lapangan.
Di titik ini absennya peta empati bertemu krisis orientasi. Pemerintah menafsirkan keberhasilan sebagai kemampuan mengeksekusi, bukan memahami. Partisipasi dianggap menghambat efektivitas, padahal di situlah efektivitas sejati diuji.
Negara bisa cepat, tetapi tidak tahu ke mana arah langkahnya. Karena itu,
empathic policy design
perlu ditempatkan sebagai arsitektur kelembagaan, cara mengatur perjumpaan antara data, pengalaman warga, dan keputusan anggaran agar koreksi menjadi bagian wajar dari pemerintahan, bukan tanda kelemahan.
Siapapun pemimpinnya, masa pemerintahan perlu dimanfaatkan untuk membangun proses pembelajaran kebijakan yang bersifat dua arah.
Kebijakan tidak lagi hanya dibuat dari atas ke bawah, tetapi juga menyerap pengalaman, masukan, dan pengetahuan dari masyarakat di akar rumput hingga ke tingkat birokrasi pusat.
Setiap program besar harus memiliki siklus uji coba, audit dampak, dan revisi desain berdasarkan bukti sosial. Keberhasilan administratif tidak boleh dinyatakan tanpa bukti perubahan yang nyata di kehidupan penerima manfaat.
Pemerintah juga perlu membangun mekanisme
deliberative policy space
, ruang diskusi publik yang tidak seremonial di mana data dan emosi warga dibaca sejajar sebagai dasar kebijakan.
Legitimasi pemerintahan tidak lahir dari kecepatan membangun, melainkan dari kemampuan mengoreksi diri.
Tanpa peta empati kebijakan, cukup memperjelas betapa besar risikonya. Negara yang bergerak tanpa mendengar akan cepat kehilangan arah sosial.
Empati dalam kebijakan bukanlah kelembutan moral, melainkan kecerdasan institusional untuk mengenali akibat dari tindakannya sendiri.
Pemerintahan yang berani berhenti untuk memperbaiki arah akan jauh lebih kuat daripada pemerintahan yang terus berlari sambil menutup telinga. Hanya dengan peta empati, kecepatan dapat berdamai dengan ketepatan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.