Bondowoso (beritajatim.com) – Tangis belasan buruh perempuan pecah di tengah hamparan kebun kopi di Desa Kaligedang, Kecamatan Sempol/Ijen, Bondowoso, Senin (13/10/2025) pagi. Di antara batang-batang kopi muda yang patah, mereka duduk lemas, sebagian menatap kosong ke tanah, sebagian lagi menangis hingga histeris.
“Der kening tolah, Pak… (Semoga pelaku tertimpa azab),” lirih seorang buruh, suaranya parau di udara dingin Ijen yang basah oleh embun pagi. Ia mengusap matanya dengan ujung kaos, sementara di sekitarnya, batang kopi berusia dua tahun tergeletak patah seperti harapan yang runtuh.
Ribuan pohon kopi muda—sekitar 6.661 batang di lahan seluas 4,6 hektar—ditemukan rusak berat. Semuanya tanaman hasil tanam tahun 2023, masih dalam fase Tanaman Belum Menghasilkan (TBM). Belum sempat panen pertama, tanaman-tanaman itu dipangkas oleh tangan-tangan gelap di malam hari.
Bagi PTPN I Regional V, pemilik lahan, kerugian diperkirakan mencapai Rp 435 juta. Namun bagi para buruh, kehilangan itu bukan soal uang, melainkan soal hidup. Di lereng Ijen, kebun bukan hanya tempat mencari nafkah, tapi bagian dari jati diri—warisan panjang sejak masa kolonial Belanda, ketika banyak warga Madura bermigrasi ke dataran tinggi untuk mengolah kopi.
Luka yang Kembali Menganga
“Setiap hari kami rawat, siram, bersihkan gulmanya. Sekarang semua habis,” kata seorang buruh perempuan lainnya dengan mata sembab.
Peristiwa perusakan kebun kopi ini menambah panjang daftar luka agraria di Ijen, wilayah yang sejak lama menyimpan bara konflik antara masyarakat dan perusahaan perkebunan negara.
Kapolsek Ijen, Iptu Suherdi, membenarkan kejadian tersebut. “Kami bersama Brimob dan pihak PTPN sudah lakukan olah TKP. Dugaan sementara perusakan dilakukan pada malam hari antara Minggu dan Senin dini hari,” ujarnya.
Kasi Humas Polres Bondowoso, Iptu Boby Dwi Siswanto, menegaskan penyelidikan masih berlangsung. “Kami masih mendalami motif dan pelaku,” katanya, Selasa (14/10/2025).
PTPN sendiri telah melaporkan peristiwa ini secara resmi ke Polres Bondowoso. “Kami sudah lapor ke Polres,” kata Manajer Kebun Blawan PTPN I Regional V, Bambang Trianto, singkat.
Namun di balik proses hukum itu, para pemangku kepentingan di Bondowoso menyadari bahwa yang terjadi di Kaligedang bukan sekadar pengrusakan kebun, melainkan bagian dari persoalan yang lebih tua: konflik agraria yang tak kunjung selesai.
Di Antara HGU dan Harapan Warga
Sekda Bondowoso, Fathur Rozi, yang mewakili Bupati dalam rapat Forkopimda menegaskan, konflik agraria di kawasan Ijen tidak bisa dipandang dari satu sisi. “Ini persoalan lama. Harus diselesaikan dengan mempertimbangkan aspek hukum, sosial, dan budaya,” ujarnya di Pendopo Bupati, Selasa sore.
Fathur menjelaskan bahwa pemerintah telah memetakan penyelesaian konflik dalam delapan zona. Zona satu, meliputi Kampung Baru dan Kampung Malang, telah dinyatakan tuntas dengan relokasi masyarakat ke lahan baru. “Zona satu sudah klir. Yang lain masih berproses,” katanya.
Ia juga menanggapi aspirasi masyarakat yang meminta pembatalan Hak Guna Usaha (HGU) PTPN. “Itu sah saja, tapi tidak bisa gegabah. Semua harus dikaji secara hukum dan sosial,” tegasnya.
Ketua DPRD Bondowoso, Ahmad Dhafir, yang sudah puluhan tahun mengikuti dinamika masyarakat Ijen, menilai penyelesaian masalah ini tidak bisa dilakukan sepihak. “Masalah Ijen berlapis. Akar masalahnya bukan sekadar legalitas, tapi juga sosial dan kultural,” ujarnya.
Ia mencontohkan, data lahan yang sering tidak sinkron antara versi PTPN dan realita lapangan. “Di zona satu, awalnya dilaporkan hanya 4 hektar dengan 6 penggarap. Setelah dicek, ternyata 14 hektar dengan 18 penggarap,” katanya.
Dhafir menambahkan, secara hukum pembatalan HGU bisa dilakukan jika lahan tidak digunakan sesuai peruntukannya selama dua tahun. “Dari total 7.800 hektar HGU PTPN di Bondowoso, sekitar 3.000 hektar digunakan untuk hortikultura, bukan kopi. Kalau begitu, wajar masyarakat menggugat,” tegasnya.
Sejarah yang Berulang
Ijen seperti cermin dari sejarah panjang agraria di Nusantara—tentang tanah, kerja, dan hak yang tak pernah benar-benar selesai. Tahun 2006, kasus serupa pernah terjadi. Sebanyak 370 warga diperiksa karena pengrusakan lahan milik PTPN, tapi akhirnya diselesaikan damai setelah ditemukan akar masalahnya: tanah rawa yang diolah warga turun-temurun. Dua puluh tahun kemudian, luka itu kembali menganga dengan wajah baru.
Di satu sisi, PTPN sebagai BUMN dituntut menjaga aset negara. Di sisi lain, warga merasa diasingkan di tanah yang sudah mereka garap selama puluhan tahun. Di antara keduanya, ada generasi buruh perempuan yang setiap pagi datang ke kebun, berharap biji kopi yang mereka tanam bisa menjadi masa depan anak-anak mereka.
Ketua DPRD Ahmad Dhafir menutup pernyataannya dengan nada harap:
“Kalau Israel dan Palestina saja bisa duduk bersama membicarakan damai, apalagi kita di Bondowoso. Yang penting ada niat baik dan kebijaksanaan.”
Di Kaligedang, air mata pagi itu mungkin hanyalah permukaan dari luka yang lebih dalam—luka yang sudah lama menunggu disembuhkan dengan keadilan. [awi/beq]
