Aktivis NU: Tragedi di Ponpes Al Khoziny Harusnya Jadi Tanggung Jawab Negara

Aktivis NU: Tragedi di Ponpes Al Khoziny Harusnya Jadi Tanggung Jawab Negara

Surabaya (beritajatim.com) – Aktivis Nahdlatul Ulama (NU), Muchammad, Jafar Shodiq SH, MH, menilai tragedi yang terjadi di Pondok Pesantren Al-Khoziny Buduran, Sidoarjo, dan menelan korban jiwa puluhan santri merupakan musibah besar yang tidak bisa dilepaskan begitu saja dari tanggung jawab negara.

Menurut Jafar, insiden tersebut harus dilihat dalam kerangka Undang-undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, yang secara tegas mengamanatkan peran dan kewajiban pemerintah terhadap penyelenggaraan pesantren.

“Tragedi di Al-Khoziny memang musibah, dan pengasuh pesantren tentu sangat berduka karena kehilangan santri-santrinya. Namun, jika pemerintah hadir sebagaimana amanah undang-undang, potensi musibah seperti ini bisa diminimalkan,” ujar Jafar, Selasa (14/10/2025).

Ia menjelaskan, selama ini pesantren membangun sarana dan prasarana pendidikan secara mandiri, berlandaskan keikhlasan dan semangat gotong royong. Pembangunan fasilitas pesantren, lanjutnya, sering kali dilakukan tanpa standar teknis yang memadai. Ini karena hanya mengandalkan kemampuan tukang lokal dan dana swadaya masyarakat.

“Pesantren selama ini membangun sarana dan prasarana dengan keikhlasan dan keunikannya. Bahkan, banyak yang jauh dari standar pembangunan, karena hanya mengandalkan pengetahuan tukang ala kampung,” ungkapnya.

Jafar menegaskan, sejak UU Pesantren disahkan dan berlaku efektif tiga tahun setelah diundangkan, pemerintah seharusnya sudah hadir memberikan pendampingan, fasilitasi, dan afirmasi bagi pesantren, khususnya dalam aspek pembangunan yang layak dan aman bagi santri.

“Ketika UU Pesantren telah diundangkan, apakah pemerintah pernah hadir untuk memberikan fasilitasi dan pendampingan sebagaimana amanah undang-undang itu? Yang terjadi di Ponpes Al-Khoziny, ketika musibah datang, bupati justru hadir menyalahkan pihak pesantren karena masalah administratif,” tegasnya.

Ia menilai sikap seperti itu mencerminkan kurangnya empati dan pemahaman terhadap dunia pesantren, yang selama ini berperan penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjaga keutuhan Indonesia.

“Pesantren kini seolah jadi kambing hitam, disalahkan oleh banyak pihak, bahkan digoreng di media sosial tanpa melihat kekhasan dan perjuangan pesantren. Padahal, pesantren telah berjuang sejak sebelum Indonesia merdeka, mendidik dengan mandiri, dan menjadi pemersatu bangsa,” pungkas Jafar. (tok/ian)