Bisnis.com, JAKARTA — Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia (WALI) mengungkap bahwa bisnis waralaba (franchise) mengalami pertumbuhan yang melambat di tahun ini. Kondisi ini seiring dengan pemerintah yang mengerem anggaran belanja.
Ketua Umum Perhimpunan WALI Levita Ginting Supit memperkirakan bahwa industri franchise akan tumbuh melambat sekitar 3% pada tahun ini, imbas pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tidak sekuat tahun sebelumnya.
“Kami mungkin minimal ada sekitar 3% ya untuk pertumbuhannya [industri franchise pada 2025]. Seperti kita ketahui juga kan memang tahun ini pertumbuhan ekonomi kita juga tidak sedahsyat yang sebelumnya,” kata Levita saat ditemui Bisnis seusai acara Franchise & License Expo Indonesia (FLEI) Business Show di Nusantara International Convention Exhibition (NICE) PIK 2, Tangerang, Banten, Jumat (10/10/2025).
Namun demikian, Levita menyampaikan bahwa industri franchise tetap bertahan meski terdampak.
“Itu berdampak juga, walaupun berdampaknya bukan berarti franchise itu setop, enggak, cuman agak melambat saja. Tapi mereka [franchise] tetap berjalan,” terangnya.
Levita pun tak menampik bahwa pengetatan belanja pemerintah menjadi salah satu tantangan tersendiri bagi industri waralaba pada tahun ini. Namun, dia menekankan pentingnya inovasi dan efisiensi agar industri ini tetap bertahan.
“Itu tentu tantangan ya karena pemerintah lagi mengerem budget-nya. Memang itu menjadi satu kendala buat kita, tapi kan kita cari solusinya seperti apa, dengan keterbatasan dana yang digelontarkan oleh pemerintah,” ujarnya.
Seiring adanya efisiensi belanja pemerintah, Levita menyampaikan bahwa industri waralaba tetap bisa bertahan karena tingkat kreativitas pelaku usahanya tinggi, dan mereka mampu mencari solusi alternatif.
Adapun salah satu caranya dengan tidak menaikkan harga jual, meski harga bahan baku naik. Langkah ini dilakukan untuk menjaga daya beli konsumen.
Selain itu, lanjut dia, pelaku waralaba menjual paket hemat dengan harga yang terjangkau, agar produk tetap diminati di tengah kondisi ekonomi lesu.
“Jadi bisnis franchise itu adalah kreatifivtasnya tinggi. Jadi banyak cara yang bisa mereka lakukan untuk menghadapi kendala-kendala yang sedang terjadi di Indonesia pada saat ini,” jelasnya.
Mamin Jadi Tulang Punggung
Lebih lanjut, Levita menuturkan bahwa hingga saat ini sektor makanan dan minuman alis mamin (F&B) tetap menjadi kontributor terbesar dalam industri waralaba.
“Karena masyarakat sekalipun uangnya terbatas pasti urusan perut nomor satu. Jadi mereka biasanya belanja ke restoran yang sesuai dengan isi kantong mereka,” ujarnya.
Apalagi, sambung dia, tidak semua franchise membutuhkan modal besar, karena kini banyak pilihan usaha dengan skema franchise yang lebih terjangkau.
“Tapi dengan bisnis franchise ini kan masyarakat sudah tahu, kualitas makanannya seperti apa, jenis makanannya. Nah itu mempermudah si pengusahanya dalam memasarkan bisnis mereka,” terangnya.
Levita menilai kondisi industri franchise saat ini masih cukup positif. Menurutnya, permintaan terhadap model bisnis franchise terus meningkat, seiring dengan tren di kalangan pengusaha muda yang lebih memilih memulai usaha melalui sistem franchise dibandingkan membangun bisnis dari awal.
“Sekarang rata-rata entrepreneur muda itu cenderung lebih mau memulai dengan bisnis franchise daripada bisnis non-franchise. Nah, itu yang mengakibatkan permintaan akan bisnis franchise semakin tinggi,” pungkasnya.
